BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Partisipasi dalam olahraga selalu menjadi bagian
penting di lingkungan manusia. Pada zaman kehidupan modern sekarang ini manusia
tidak bisa dipisahkan dari kegiatan olahraga. Orang-orang mengikuti kegiatan
olahraga dengan alasan kesehatan dan kebugaran, namun ada pula dengan maksud
untuk membangun karakter dan sosialisasi. Olahraga dapat membentuk manusia yang
sehat jasmani dan rohani serta mempunyai watak disiplin dan pada akhirnya akan
terbentuk manusia yang berkualitas, karena pembangunan manusia pada
hakikatnya menuju manusia seutuhnya yang sehat jasmani dan rohani. Olahraga
menjadi bagian penting secara sosial di seluruh dunia. Olahraga dilakukan oleh
seluruh tingkatan mulai usia yang sangat muda sampai usia yang sangat tua,
dengan tujuan dari sekedar kesenangan, rekreasi sampai untuk tujuan profesional.
Dewasa ini perkembangan sosial di dalam olahraga
semakin maju, banyak fenomena yang berpengaruh terhadap dinamika interaksi
sosial masyarakat. Sejalan dengan perkembangannya olahraga akan terus mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan sosial. Banyak pendapat para tokoh
pendidikan yang kemudian berdampak terhadap peradaban manusia terkait tentang
arti pentingnya pendidikan olahraga bagi manusia yang mempunyai kesehatan
secara lahiriah maupun rohaniah. Pendidikan sebagai suatu proses pembinaan
manusia yang berlangsung seumur hidup, pendidikan jasmani, olahraga dan psikologi
olahraga jika dipahami dan dimengerti bagi masyarakat luas maka akan memiliki
peranan sangat penting, yaitu memberikan kesempatan kepada semua lapisan
masyarakat untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui
aktivitas jasmani, olahraga dan bersosial antar masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk membina
pertumbuhan fisik dan pengembangan psikologi yang lebih baik, sekaligus
membentuk pola hidup sehat dan bugar sepanjang hayat. Pendidikan memiliki
sasaran pedagogis, oleh karena itu pendidikan kurang lengkap tanpa adanya
pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, karena gerak sebagai aktivitas
jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang
secara alami berkembang searah dengan perkembangan zaman.
Olahraga bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkam nilai moral dan
akhlak mulia, sportifitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan
kesatuan bangsa, memperkokoh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat,
martabat, dan kehormatan bangsa. Olahraga dengan segala aspek dan dimensi
kegiatannya yang mengandung unsur pertandingan atau kompetisi, harus disertai
dengan sikap dan perilaku yang didasarkan pada kesadaran moral. Sikap itu
menyatakan kesiapan untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan peraturan.
Kesiapan di dalam olahraga tidak hanya loyal terhadap ketentuan yang tersirat,
tetapi juga kesanggupan untuk membaca dan memutuskan pertimbangan berdasarkan
kata hati terhadap kepatutan tindakan itu yang bersumber dari batiniah.
Olahraga merupakan sebuah cerminan dan sekaligus
menjadi wahana bagi pelumatan nilai-nilai sosial yang mencerminkan potensi dan
keterbatasan masyarakat sekaligus. Manusia mengartikan kepedulian terhadap
olahraga adalah semata-mata menelaah secara kritis tentang potensi olahraga
untuk membeberkan konsep dan fakta bahwa olahraga sebagai aktivitas jasmani
yang berisikan permainan sebagai arena bagi penerapan tindakan moral, oleh
karena itu penghampiran yang digunakan dalam naskah ini terutama pendekatan
psikologis.
Sebagai pendidik harus menyadari bahwa olahraga
penuh dengan masalah, silang pendapat, dan lebih-lebih di lingkungan olahraga
kompetitif, sering ditandai dengan persaingan yang tidak sehat. Seperti halnya
dalam konteks pendidikan jasmani yang mengemban misi kependidikan, olahraga
pada umumnya menyediakan kesempatan yang melimpah bagi setiap individu untuk
berinteraksi, belajar, mengalihkan dan menegakkan nilai moral. Ketegangan moral
yang dialami para pelaku ketika menghadapi situasi yang serba dilematis,
misalnya: konflik antara kepentingan untuk memenangkan pertandingan dan norma
fair play yang secara bersamaan melahirkan konflik moral.
Kegiatan
berolahraga adalah sebagai gambaran kecil seseorang dihadapkan dengan replika
kehidupan yang sesungguhnya, oleh karena itu kegiatan berolahraga sangat
potensial untuk melaksanakan pendidikan moral, apabila dikelola dan
dilaksanakan sebaik-baiknya. Persoalan yang paling menonjol dewasa ini adalah
pengembangan karakter penerapan fair play atau sportifitas sebagai nilai inti
dalam bidang olahraga, sehingga dalam kesempatan berolahraga seseorang
dihadapkan dengan struktur sosial yang dapat diterima dan dinilai adil dan dalam
kesempatan tersebut peraturan yang diterapkan dipandang lebih fair dari
kehidupan yang sesungguhnya.
Dalam kenyataannya, pelaku olahraga dihadapkan
dengan keterbatasan waktu untuk membuat keputusan, karena itu faktor pengalaman
dan konteks kegiatan (misalnya: taraf kompetisi yang sedang dijalani) ikut
mempengaruhi. Bahkan suara dari dalam sering dominan peranannya, sehingga
keputusan-keputusan yang selanjutnya digolongkan sebagai pengembangan karakter,
perilaku fair play yang luar biasa, seperti berlangsung diluar kesadaran sang
pelaku. Karena itu harus disoroti dari sistem nilai yang kita sebut sportifitas
atau fair play. Agar dapat memperagakan perilaku sportif seseorang bukan hanya
mematuhi peraturan yang tertulis tetapi juga harus dapat berbuat sesuai dengan
keputusan hati nurani.
Keprihatinan terhadap fenomena degradasi moral dan
karakter bangsa makin terasa akut dari masa ke masa. Pada kalangan masyarakat
makin mewabah patologi sosial dan penyalah artian praktik kehidupan demokrasi
dengan kebebasan tanpa aturan, disamping hal itu juga ada perkembangan sentimen
ke daerahan dan kesukubangsaan yang makin meluncurkan semangat nasionalisme
sehingga maraknya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, terjadinya
degradasi lingkungan, radikalisme dan otensitas agama. Banyak kalangan
berpandangan bahwa masalah multi dimensional ini harus dipikul oleh institusi
pendidikan. Berbeda dengan peran pendidikan di negara-negara maju yang lebih
terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, pendidikan di Indonesia memikul beban
ganda. Beban ganda itu adalah tidak saja transformasi pengetahuan, tetapi
ditambah lagi dengan enkulturasi berbagai bidang kehidupan, termasuk
pembentukan karakter, fair play dan kepribadian perilaku sportif dalam kerangka nation andcharacter building. Meskipun secara konseptual pokok
pikiran ini relatif lebih mudah dirumuskan, tetapi pada praktiknya sungguh rumit.
Moral karakter berhubungan erat dengan perilaku dan nilai-nilai yang dapat
didefinisikan sebagai sikap yang konsisten untuk merespons situasi melalui
ciri-ciri seperti kebaikan hati, kejujuran, sportifitas, tanggung jawab, fair
play dan penghargaan kepada orang lain.
Pendidikan olahraga yang selama ini banyak dipandang
sebelah mata ternyata banyak mendidik nilai perilaku yang secara riil dapat diwujudkan
apabila direncanakan secara sistematis. Nilai dasar dalam kehidupan
sehari-hari olahraga sering disikapi sebagai media hiburan, pengisi waktu
luang, senam, rekreasi, kegiatan sosialisasi, dan meningkatkan derajat
kesehatan. Secara fisik olahraga memang terbukti dapat mengurangi risiko
terserang penyakit, meningkatkan kebugaran, memperkuat tulang, mengatur berat
badan, dan mengembangkan keterampilan. Hal itu berbanding terbalik dengan
kenyataannya, nilai-nilai yang lebih penting dalam konteks pendidikan olahraga
dan psikologi, yaitu pembentukan karakter dan kepribadian, masih kurang
disadari. Kepribadian, sosialisasi, dan pendidikan kesehatan, serta
kewarganegaraan hakikatnya adalah agenda penting dalam proses pendidikan.
Sebagaimana pentingnya membaca, menulis, dan berhitung, saat ini perlu
ditambahkan lagi dengan respect and responsibility mengapa, sebab,
sesungguhnya dalam perspektif sejarah sudah sejak lama pendidikan jasmani dan
olahraga dijadikan andalan sebagai wahana yang efektif untuk pembentukan watak,
karakter, dan kepribadian. Bahkan pembentukan sifat kepemimpinan seseorang
dapat dicapai melalui media ini.
Dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat
mengharapkan generasi baru memahami norma salah benar, kearifan dalam hidup
bermasyarakat, memiliki sikap sportif, disiplin, serta taat asas dalam tata
pergaulan. Hidup bersama melalui aktivitas olahraga dapat memberi pelajaran
bahwa permainan dengan tata aturan tertentu dapat menguntungkan semua pihak dan
mencegah konflik perbedaan pandangan. Melalui olahraga juga dapat belajar
bersosialisasi melalui peranannya dan fasilitas seperti ini nyaris luput dari
perhatian layanan publik. Melalui aktivitas seperti ini, pelaku olahraga
memiliki minat sejenis dapat berbagi pengalaman yang dapat ditransformasikan
melalui komunikasi dan interaksi yang kohesif. Peran olahraga sangat penting
dan strategis dalam konteks pengembangankualitas sumber daya manusia yang
sehat, mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki sifat kompetitif yang
tinggi. Selain itu juga penting dalam pengembangan identitas, nasionalisme, dan
kemandirian bangsa. Olahraga yang dikelola secara profesional akan mampu
mengangkat martabat bangsa dalam dunia internasional.
Makalah ini akan membahas tentang memahami
pengembangan karakter dan perilaku sportif dalam olahraga, dengan mengkaji
beberapa sub bahasan antara lain: (1) pengertian karakter, fair play, perilaku
sportif; (2) tiga pengembangan karakter; (3) memahami hubungan antara alasan
dan perilaku moral; (4) panduan latihan dalam pengembangan karakter.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Karakter, Fair Play dan Perilaku Sportif
Mengartikan karakter, fair play dan perilaku sportif
tidaklah mudah dalam olahraga, masing-masing cabang olahraga memiliki arti yang
berbeda-beda, dicontohkan seorang atlet golf mungkin saja mengartikannya dengan
tidak berbicara dengan lawan selama pertandingan, namun lain halnya dengan seorang
pemain baseball yang menganggap berbicara dengan pemain lawan dalam lapangan
bukanlah sebuah masalah. Dengan demikian sesungguhnya tidak ada pengertian
secara umum yang dapat diterima oleh setiap cabang olahraga tentang perilaku
positif dalam olahraga.
Karakter dan perilaku sportif dalam olahraga sulit
diartikan, keduanya berkaitan dengan konteks umum moral dalam lingkup olahraga.
Karakter dan perilaku sportif dalam olahraga berkaitan dengan kepercayaan,
keputusan, dan tindakan yang mempertimbangkan hal mana yang baik dan etis serta
hal mana yang salah dan tidak etis dalam dunia olahraga. Moral dalam olahraga
berkaitan erat dengan 3 hal, yakni fair play, perilaku sportif, dan karakter.
1.
Fair Play
Olahraga
dengan segala aspek dan dimensinya yaitu mengandung unsur pertandingan dan
kompetisi, harus disertai dengan sikap dan perilaku berdasarkan kesadaran
moral. Implementasi pertandingan tidak terbatas pada ketentuan yang
tersurat, tetapi juga kesanggupan mental menggunakan akal sehat. Kepatutan
tindakan itu bersumber dari hati nurani yang disebut dengan istilah fair play.
Model kompetisi yang dijiwai fair play telah diimplementasikan pada
kompetisi nasional dalam forum Olimpiade Olahraga Sekolah Nasional (O2SN) dan
forum internasional, yaitu ASEAN Primary School Sport Olympiade (APSSO).
Hasilnya berpengaruh positif dan menggembirakan karena penerapan tersebut
berimplikasi pada perilaku peserta kompetisi yang lebih mencerminkan jiwa
sportivitas, kejujuran, persahabatan, rasa hormat, dan tanggung jawab dengan
segala dimensinya. Istilah fair play terkandung makna bahwa setiap
penyelenggaraan olahraga harus dijiwai oleh semangat kejujuran dan
tunduk pada tata aturan, baik yang tersurat maupun tersirat. Setiap
pertandingan harus menjunjung tinggi sportifitas, menghormati keputusan
wasit/juri, serta menghargai lawan, baik saat bertanding maupun di luar arena
pertandingan. Kemenangan dalam suatu pertandingan sangat penting, tetapi
ada hal yang lebih penting lagi yaitu menampilkan keterampilan terbaik
dengan semangat persahabatan. Lawan bertanding sejatinya adalah juga kawan
bermain. Pendidikan olahraga adalah wahana yang sangat ampuh bagi persemaian
karakter dan kepribadian anak bangsa apabila dikembangkan secara sistematis.
Olahraga mengandung dimensi nilai dan perilaku sportif yang multi dimensional.
Pertama, sikap sportif, kejujuran, menghargai teman dan saling mendukung,
membantu dan penuh semangat kompetitif. Kedua, sikap kerja sama, team work, saling percaya, berbagi,
saling ketergantungan, dan kecakapan membuat keputusan bertindak. Ketiga, sikap
dan watak yang senantiasa optimistis, antusias, partisipasi, gembira, dan
humoris. Keempat, pengembangan individu yang kreatif, penuh inisiatif,
kepemimpinan, determinasi, kerja keras, kepercayaan diri, kebebasan bertindak,
dan kepuasan diri. Keunggulan pendidikan olahraga dalam pembentukan karakter
terletak pada konkretisasi nilai-nilai ke dalam perilaku yang merupakan suatu
ciri yang tidak mudah dilakukan pada substansi yang lain dalam kurikulum
dan pembelajaran yang cenderung teoristik, abstrak, dan verbalistik. Moral
karakter berhubungan erat dengan perilaku dan nilai-nilai yang dapat
didefinisikan sebagai sikap yang konsisten untuk merespons situasi melalui
ciri-ciri seperti kebaikan hati, kejujuran, sportifitas, tanggung jawab, dan
penghargaan kepada orang lain tetapi nilai-nilai yang lebih penting dalam
konteks pendidikan dan psikologi, yaitu pembentukan karakter dan kepribadian,
masih kurang disadari. Peran olahraga kian penting dan strategis dalam konteks
pengembangan kualitas sumber daya manusia yang sehat, mandiri, bertanggung
jawab, dan memiliki sifat kompetitif yang tinggi.
Fair
play adalah kebesaran hati terhadap lawan yang menimbulkan perhubungan
kemanusian yang akrab dan hangat dan mesra. Fair play merupakan kesadaran yang
selalu melekat, bahwa lawan bertanding adalah kawan bertanding yang diikat oleh
pesaudaraan olahraga. Jadi fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan
martabat ksatria pada olahraga. Nilai fair play melandasi pembentukan sikap,
dan selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku. Sebagai konsep moral fair play
berisi penghargaan terhadap lawan serta harga diri yang berkaitan antara kedua
belah pihak memandang lawannya sebagai mitranya. Keseluruhan dan upaya dan
perjuangan itu dilaksanakan dengan bertumpu pada standar moral yang di hayati
oleh masing-masing belah pihak. Fair play adalah suatu bentuk harga diri yang
tercermin dari : (1) Kejujuran dan rasa keadilan; (2) Rasa hormat kepada lawan,
baik dalam kekalahan maupun dalam kemenangan; (3) Sikap dan perbuatan ksatria,
tanpa pamrih; (4)Sikap tegas dan berwibawa, apabila terjadi apabila lawan atau
penonton tidak berbuat fair play; (5) Kerendahan hati dalam kemenangan, dan
ketenangan pengendalian diri dalam kekalahan.
Fair
play itu menyatu dengan konsep persahabatan dan menghormati yang lain dan
selalu bermain dalam semangat sejati. Fair play dimaknakan sebagai bukan hanya
unjuk perilaku dan menyatu dengan persoalan yang berkenaan dengan dihindarinya
ulah penipuan, main berpura-pura atau, doping, kekerasan (baik fisik maupun
ungkapan kata-kata), eksploitasi, memanfaatkan peluang, komersialisasi yang
berlebih-lebihan atau melampui batas korupsi. Fairplay dapat digambarkan dengan
istilah” semangat olahragawan sejati”, yang mengungkapkan bagaimana seseorang
bermain serta bagaimana cara bersikap dan bertindak terhadap orang lain baik
pada saat bermain maupun pada saat lainnya yang masih berkaitan dengan situasi
pertandingan. Fair play akan terwujud apabila terpenuhi perilaku tersebut di
atas, dan sangat dibutuhkan kesungguhan keberanian moral dan keberanian untuk
menanggung resiko. Dalam kaitan ini dibutuhkan sikap ksatria yang menolak
kemenangan dengan segala cara.
Nilai
dalam fair play merupakan rujukan perilaku, sesuatu yang dianggap “luhur” dan
menjadi pedoman hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bidang
keolahragaan, persoalan ini kian relevan untuk dibahas. Kecenderungan sikap dan
partisipasi dalam tindakan dari sekelompok warga masyarakat, termasuk organisasi
induk olahraga, yang berusaha untuk meningkatkan prestasi, membangkitkan
masalah yang semakin kompleks dan mendalam, hal ini dikarenakan nilai-nilai
ideal olahraga makin luhur, di geser oleh nilai “baru” sebagai konsekuensi dari
perubahan sosial. Kegiatan dalam keolahragaan merupakan cerminan dalam lingkup
kecil dari tatanan masyarakat yang lebih luas. Nilai dalam masyarakat telah
berubah, dan hal itu juga berdampak nyata ke dalam olahraga.
Penerapan
fair play atau sportifitas sebagai nilai inti dalam bidang olahraga menjadi
persoalan yang menonjol dewasa ini. Tantangannya muncul dalam aneka perilaku
atlet, pelatih,ofisial, dan bahkan juga dari kalangan insan pers. Permasalahan
yang paling menonjol adalah upaya memperoleh
kemenangan yang disertai dengan upaya bukan mengandalkan keunggulan teknik dan
taktik dan yang diperagakan adalah gejala kekerasan dalam olahraga dan
kecendrungan untuk memaksakan kehendak, seperti mencampuri keputusan wasit.
Sebaliknya, wasit itu sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk
berdiri sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri di
tengah-tengah, tanpa memihak, sesuai dengan fungsinya.
Olahraga dieksploitasi oleh politik, ideologi, dan
dagang karena olahraga sangat tenar dan digemari. Bahkan sekarang ini, sejak
logika politik berubah menjadi logika ekonomi, pengelolaan olahraga dengan
tujuan yang bersifat komerssialisasi sangat menonjol, dan bila kita tidak
waspada, ancaman terhadap fair play semakin besar. Olahraga mengalami bahaya
untuk kehilangan sifat-sifatnya yang murni, yang semestinya olahraga berisi
pertandingan yang bersifat ksatria dan membentuk kepribadian, dapat berubah
menjadi perjuangan yang tidak kenal ampun, yang dikuasai oleh pikiran prestise,
popularitas dan uang. Keadaan demikian perlu disosialisasikan sejak dini, sejak
seseorang mulai belajar olahraga dengan maksud untuk melindungi olahraga dari
bahaya-bahaya yang mengancamnya. Berkenaan dengan hal ini kiranya perlu
disebarluaskan di Indonesia, gagasan dan praktik berolahraga yang dijiwai oleh
semangat sportifitas dan alangkah baiknya jika selalu dapat diterapkan
praktik-praktik yang memperkokoh pengalaman prilaku yang adil dan jujur. Sangat
tepat apabila dilembagakan pemberian penghargaan kepada berbagai pihak yang
menjadi pelaku olahraga yang menunjukkan perilaku yang terpuji yang meliputi
dalam konsep fair play.
Tindakan
fair play diperlukan pada kompetisi-kompetisi olahraga dimana semua peserta
memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi pemenang. Tindakan fair
play tidak hanya membutuhkan pemahaman dan ketaatan pada peraturan-peraturan
formal suatu permainan, tetapi juga pada semangat kerjasama dan peraturan tidak
tertulis yang ada untuk membuat sebuah permainan atau pertandingan bersifat
adil. Dalam hal inilah peran orangtua, pelatih, dan official untuk mengenalkan
secara intensif tindakan fair play sejak dini selama jenjang karir peserta
didik.
2.
Perilaku Sportif
Perilaku
sportif dalam olahraga melibatkan sebuah kerja keras menuju sukses yang
berkelanjutan yang didukung dengan sifat dan komitmen pada semangat permainan,
sehingga etika-etika standar dalam olahraga tersebut dapat lebih dipentingkan
daripada kepentingan strategi permainan ketika keduanya berselisih, dengan kata
lain seorang atlet akan berlaku sportif meskipun itu bisa menyebabkan kekalahan
dalam suatu pertandingan. Juara tenis terbuka Patrick Raffer menunjukkan
Perilaku sportif dalam olahraga pada saat dia menerima saat diberitahu bahwa
keputusan hakim garis tidak benar, meskipun itu berarti kekalahan baginya.
Perilaku
sportif olahraga berdasarkan pada pemahaman dasar konsep olahraga para atlet.
Seorang psikolog olahraga asal Canada, Robert Vallerand dan rekan-rekannya
mengadakan sebuah penelitian yang bertujuan untuk memahami bagaimana para atlet
itu sendiri memahami Perilaku sportif olahraga. Secara khusus penelitian
tersebut mengadakan survey terhadap 1.056 atlet Perancis dan Canada yang
berusia antara 10-18 tahun yang mewakili tujuh cabang olahraga yang berbeda.
Penelitian ini meneliti tentang Perilaku sportif olahraga dengan melakukan
survei langsung pada para atlet. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi
Perilaku sportif dalam olahraga terungkap dalam penelitian ini. Kelima faktor
tersebut adalah: (1) Komitmen penuh pada keikutsertaan (berpartisipasi dan bekerja
keras selama latihan dan pertandingan, mempelajari kesalahan dan berusaha untuk
memperbaiki); (2) Menghormati dan memperhatikan peraturan dan ofisial (bahkan
saat offisial tampak kurang kompeten); (3) Menghormati dan memperhatikan
kebiasaan-kebiasaan sosial (berjabat tangan setelah pertandingan, mengakui
penampilan baik dari lawan, menjadi pihak kalah yang baik); (4) Menghormati dan
memperhatikan lawan (meminjamkan peralatan pada lawan, setuju untuk tetap
bertanding meskipun tim lawan dating terlambat, menolak untuk mengambil
keuntungan saat lawan cedera); (5) Mencegah perilaku dan sifat-sifat buruk
dalam keikutsertaan (menolak sebuah pendekatan untuk menang dengan cara apapun,
tidak menunjukkan kemarahan setelah membuat kesalahan, tidak berkompetisi hanya
untuk penghargaan dan hadiah perorangan).
Kesimpulan
penelitian tersebut adalah mengisyaratkan bahwa para atlet mengartikan perilaku
sportif olahraga sebagai “menghormati dan memperhatikan peraturan-peraturan,
kebiasaan sosial, pihak lawan, serta komitmen penuh seseorang pada sebuah
olahraga dan ketiadaan pendekatan-pendekatan negatif dalam keikutsertaan
olahraga.
Dapat
disimpulkan bahwa perilaku sportif olahraga bisa diterima secara luas dalam
semua cabang olahraga. Perilaku sportif dalam olahraga harus diklasifikasikan
secara spesifik, karena hal tersebut berkaitan dengan jenis olahraga, level
pertandingan, dan umur peserta. Namun meskipun tidak terdapat pengertian secara
umum tentang perilaku sportif olahraga, sangat penting bagi kita untuk
mengidentifikasi setiap perilaku sportif olahraga dan berusaha untuk
mengembangkan pengertian spesifik dari hal tersebut karena kita bekerja secara
profesional dalam olahraga, pendidikan olahraga, dan lingkup kepelatihan.
3.
Karakter
Menurut
bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli
psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang
mengarahkan tindakan seorang individu, oleh karena itu apabila pengetahuan
mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula
bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.
Karakter
didefinisikan sebagai suatu
tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam
pikiran, dandapat disebut dengan kebiasaan. Unsur terpenting dalam
pembentukan karakter adalah pikiran, karena di dalamnya terdapat seluruh
program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya dan merupakan pelopor
segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya
dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Program
yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka
perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam dan hasil dari perilaku tersebut
membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, apabila program tersebut tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa
kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Dari hal di atas dapat di kaji bahwa
pikiran harus mendapatkan perhatian serius, dengan memahami cara kerja pikiran,
seseorang akan memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Kemampuan
seseorang dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, maka seseorang juga
akan mudah mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya,
jika pikiran seseorang lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan
kejahatan, maka akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan yang disadari
maupun tidak. Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem
kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan,
kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Setiap individu
akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image),
dan kebiasaan (habit) yang unik. Apabila sistem kepercayaannya benar dan
selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan
terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, apabila sistem kepercayaannya
tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka
kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Karakter
dalam olahraga merujuk pada sebuah kesatuan karakteristik yang dapat
dikembangkan dalam olahraga (pada umumnya mengandung nilai-nilai moral bahwa
kita semua menginginkan para atlet untuk mengembangkan karakter yang baik dalam
olahraga). Pihak-pihak yang mendukung adanya manfaat-manfaat pengembangan
karakter dalam olahraga berpendapat bahwa atlet (peserta) belajar untuk
mengatasi segala rintangan, bekerjasama dengan rekan satu tim, mengembangkan
kemampuan kontrol diri, dan tahan terhadap kekalahan. Karakter dapat dilihat
sebagai sebuah konsep menyeluruh yang memadukan antara fair play dan perilaku positif
dalam olahraga dengan dua nilai penting lain yaitu perasaan dan integritas,
oleh karena itu karakter dalam olahraga menggabungkan empat nilai yang saling
terkait: perasaan, keadilan, perilaku sportif dalam olahraga, dan integritas. Perasaan
dalam hal ini berkaitan dengan empati, yaitu sebuah kemampuan untuk memahami
dan menghargai perasaan orang lain. Pada saat seseorang menggunakan perasaan
kepada orang lain, maka akan berusaha untuk memahami sudut pandang atau pendapat-pendapat
orang lain. Integritasadalah kemampuan untuk mempertahankan moral dan keadilan
seseorang berdampingan dengan keyakinan bahwa seseorang akan bisa memenuhi
tujuan moral seseorang. Pada intinya, hal tersebut merupakan kesadaran moral
seorang atlet atau pelatih dan merupakan sebuah keyakinan bahwa seseorang akan
melakukan hal yang benar dan baik saat dihadapkan dengan sebuah dilema moral.
Kesimpulan
dari paparan di atas adalah pada saat membicarakan karakter dalam olahraga akan
merujuk pada usaha untuk memahami peraturan dan dasar-dasar perilaku olahraga yang
diharapkan dari peserta (perilaku sportif dalam olahraga), mematuhi peraturan
dan semangat peraturan pada saat bertanding (keadilan), memiliki kepekaan rasa
atau mampu untuk memahami perasaan-perasaan orang lain dan memiliki integritas
atau menjadi percaya diri bahwa seseorang akan tahu mana yang benar dan akan
menerapkan hal yang benar, walaupun pada saat pilihan tersebut merupakan
alternatif yang sangat sulit.
B.
PENGEMBANGAN
KARAKTER DAN PERILAKU POSITIF OLAHRAGA: TIGA PENDEKATAN PENGEMBANGAN
1. Pendekatan
Pembelajaran Sosial
Teori
pendekatan pembelajaran sosial diperkenalkan oleh Albert Bandura. Menurut teori
pendekatan pembelajaran perkembangan karakter, sikap dan perilaku positif
olahraga tertentu yang dianggap sesuai oleh masyarakat dipelajari melalui “modelling”(percontohan) dan pembelajaran
observasi, penguatan, dan perbandingan sosial untuk selanjutanya diterima dan
digunakan untuk membimbing perilaku. Pendekatan pembelajaran sosial
mengemukakan bahwa sejarah pembelajaran sosial masyarakat menentukan tingkatan
perilaku positif olahraga mereka, meskipun pada saat ini menekankan bahwa
perilaku juga dipengaruhi oleh interaksi personal dan faktor-faktor
situasional. Sebagai contoh, suatu kelas olahraga mendapatkan pembelajaran
dengan materi kebugaran, dengan mengetahui bahwa anak-anak akan mendapatkan
hadiah pada saat melaporkan sit-up yang salah pada gurunya. Arif belajar di
kelas olahraga tersebut dan bukan merupakan suatu masalah untuk melakukan
kecurangan pada latihan-latihan kebugaran, karena menginginkan hadiah dan
perhatian dari gurunya, Arif meniru perilaku siswa lain yang dibandingkan
dengan dirinya dan mulai melaporkan nilai sit-up lebih banyak daripada yang
sebenarnya dilakukan. Dari peningkatan nilai sit-upnya, kemudian Arif mendapatkan hadiah. Hal itulah yang
dipelajarinya dari hasil observasinya terhadap teman-teman lain dan pengalamannya
sendiri, jika Arif berbohong tentang jumlah sit-upnya maka Arif menerima
bantuan yang tidak seharusnya didapatkan dalam pembelajaran olahraga tersebut,
di lain pihak seorang anak yang egois mungkin saja belajar untuk berbagi dan
lebih perhatian dengan mengetahui bahwa teman sekelasnya menerima hadiah dan
perhatian dengan membantu. Setelah itu saat anak ini meniru tindakan tersebut
(membantu yang lain), juga akan mendapatkan hadiah berupa perasaan sosialnya
dikuatkan, oleh karena itu, baik sifat positif maupun negatif dipengaruhi oleh
proses pembelajaran sosial.
Dalam
sebuah teori pembelajaran sosial, anak-anak laki-laki kelas lima yang berlaku
tidak sportif (seperti mengejek) menerima instruksi tentang perilaku tidak
patutnya, melihat perilaku positif yang dipertontonkan dan terlibat dalam
sistem penguatan. Setelah beberapa waktu, sistem penguatan tersebut bekerja
efektif, meskipun mereka cenderung hanya mengurangi perilaku
kurang patutnya daripada menerapkan perilaku-perilaku positif yang diharapkan.
Mantan
petenis Bjon Borg dikenal atas perilaku positifnya, tetapi juga tidak selalu
bertindak dengan perilaku positifnya. Pada saat umurnya 12 tahun, Borg melempar
raketnya dengan kesal, menunjukkn rasa kemarahan dalam lapangan. Tindakan
seperti itu dikuranginya dengan cepat karena ibunya tidak akan mentolerir
hal-hal demikian. Raket Borg akhirnya disita dan dilarang bermain tennis selama
6 bulan.
2.
Pendekatan Pengembangan
Struktural
Pendekatan
ini tidak berfokus pada modeling,
penguatan, dan pembandingan sosial, melainkan berfokus pada bagaimana
perkembangan psikologi dan perkembangan perubahan-perubahan pola pikir dan
keputusan pada perilaku anak yang berinteraksi dengan pengalaman lingkungan
untuk membentuk pertimbangan moral. Para psikolog olahraga telah menarik
pengertian-pengertian spesifik tentang perkembangan moral, pertimbangan moral,
dan perilaku moral. Moral dalam pendekatan pengembangan struktural ini bukan
berarti moral dalam nilai-nilai religius. (1) Pertimbangan moral diartikan sebagai
proses keputusan di mana seseorang menentukan kebenaran dan kesalahan dalam
sebuah tujuan tindakan, oleh karena itu pertimbangan moral berhubungan dengan
bagaimana seseorang memutuskan apakah beberapa tujuan tindakan, contoh: jika
seorang pelatih melanggar peraturan dari Asosiasi Persatuan atlet Nasional
dengan membayarkan penerbangan seorang atlet untuk melihat kematian ibunya)
merupakan suatu tindakan yang benar atau salah. (2) Perkembangan moral adalah
sebuah proses pengalaman dan pertumbuhan saat seseorang mengembangkan
kapasitasnya untuk berpikir dengan moralnya, contoh: pada penyusunan sebuah
kurikulum pendidikan olahraga yang berjangkauan luas, seorang koordinator
wilayah ingin memahami pengalaman dan perkembangan kognitif apakah yang paling
tepat untuk meningkatkan kemampuan anak-anak untuk menentukan kebenaran dan
kesalahan dalam sebuah tindakan. (3) Perilaku moral adalah melakukan sebuah
tindakan yang dianggap benar atau salah.
Pertimbangan
moral dihasilkan dari pengalaman individu, perkembangan psikologis, dan
perkembangan anak. Pertimbangan moral dianggap mampu untuk membimbing perilaku
moraldan dilihat sebagai serangkaian dari prinsip-prinsip etik umum yang
mendasari perilaku-perilaku situasional tertentu dari perilaku positif
olahraga.
Para
ahli dari pendekatan ini berpendapat bahwa kemampuan untuk berfikir secara
moral bergantung pada tingkatan perkembangan kognitif atau mental seseorang.
Seorang anak berusia 4tahun hanya mampu untuk berfikir tentang benda-benda
konkret, secara tidak sengaja didorong di sekolah dan anak akan merespon dengan
memukul anak yang mendorongnya. Anak ini tidak mampu untuk memahami maksud yang
di pahami hanya ada anak yang mendorongnya, akan tetapi apabila hal yang sama
diperlakukan pada anak berusia 11 tahun yang berkembang normal secara kognitif
dalam pertumbuhannya, anak terseebut tidak akan merespon dengan hal yang sama
karena ia telah memahami maksud dan memahami bahwa temannya tidak sengaja
mendorongnya. Para ahli melihat pendekatan ini sebagai pertimbangan moral
sebagai sesuatu yang bergantung pada perkembangan kognitif dan moral seseorang.
Tahapan perkembangan moral pada manusia:
1)
Level 1. External control stage (tahap kontrol
external).
Pada level ini anak-anak memutuskan benar atau salah
berdasarkan pada kepentingan dirinya sendiri dan secara khusus pada hasil dari
tindakannya sendiri.
2)
Level 2. An eye-for-an-eye orientation.
Pada level ini, anak masih berfokus pada
memaksimalkan kepentingan diri sendiri, tetapi pada tahap ini anak tidak lagi
hanya melihat pada tindakan yang dihasilkan. Pada tahap ini anak mulai bisa
berkompromi dan melakukakan perbandingan untuk mencapai kepentingannya.
Misalnya: seorang anak yang mencurangi lawannya dalam permainan, anak tersebut
melakukan hal itu karena melihat lawannya mencurangi temannya dan dianggap
tidak masalah.
3)
Level 3. The “golden rule” or “altruistic view”-treat
others like you would like to be treated.
Pada tahap
ini, seseorang memperlakukan orang lain seperti bagaimana dirinya ingin
diperlakukan hal yang sama oleh orang lain. Level ini sudah berbeda dari dua
level sebelumnya karena kepentingan diri sendiri bukan lagi sebuah fokus utama.
4)
Level 4. Following external rules and regulations.
Pada level
ini, seseoorang berfokus pada mematuhi peraturan-peraturan dari luar. seseorang
telah belajar bahwa tidak semua orang bisa dipercaya untuk melakukan hal yang
benar dan juga telah menyadari bahwa aturan-aturan resmi juga dibuat untuk
kepentingan umum.
5)
Level 5. What is best for all involved.
Level ini berfokus pada apa yang terbaik bagi semua
orang yang terlibat, apakah sesuai atau tidak dengan aturan resmi dan
peraturan-peraturan lain. Tahap pemikiran ini dianggap sebagai pola pikir yang
paling dewasa karena setiap individu berusaha mencapai kepentingan bersama
melalui kesepakatan bersama atau keseimbangan moral.
3.
Pendekatan
Pikologi Sosial
Pendekatan
dalam Psikologi Sosial adalah pendekatan untuk memahami perilaku seseorang.
Pendekatan-pendekatan dalam psikologi sosial antara lain:
1)
Model Pendekatan disposisi
kepribadian (traits
personality approach).
Pendekatan disposisi kepribadian
dikembangkan behaviorisme dan
conceptualisme. Asumsi yang menjadi
penyebab perilaku sosial dikarenakan sifat-sifat kepribadian yang melekat
pada diri individu dan seperti sudah built
in dalam diri yang bersifat permanen dan resisten. Kesimpulannya
menjelaskan penyebab dari perilaku sosial dikarenakan factor-faktor sifat
kepribadian yang sifatnya bawaan bersifat permanen sehingga membentuk
karakter.
2)
Model pendekatan situasi
lingkungan (Situational
Enviroment Approach).
Pendekatan
dianut dan dikembangkan oleh Empirisme dan Humanisme. Perilaku berubah dari satu
situasi ke situasi yang lain. Kesimpulannya situasi mendominasi pengaruh
perilaku sosial
3)
Model Pendekatan Interaksi (Interaction Approach).
Pendekatan ini adalah konvergen
antara model pendekatan disposisi kepribadian dan situasi lingkungan
dengan memberikan win win solutions.
Bawaan dan situasi saling berinteraksi sehingga membentuk kontribusi pengaruh
perilaku sosial dan yang mendominasi tergantung intensitas antara
keduannya.
Pendekatan
psikologi sosial harus dilihat dan dikaji secara luas, yakni pada moral dan karakter yang menjadi
pertimbangan dalam unsur-unsur kepribadian pada pendekatan pengembangan
struktural ditambah dengan jangkauan yang luas dari faktor-faktor sosial yang
melampaui batas dari bagian-bagian perbandingan sebuah pendekatan pembelajaran
sosial. Salah satu bagian penting dari sudut pandang ini adalah gagasan bahwa
agen sosial seperti orang tua dan pelatih mengartikan dan menerapkan perilaku
positif dalam olahraga. Dalan hal ini bertujuan untuk menilik dalam hal yang
lebih kompleks, sudut pandang seseorang yang dipengaruhi oleh situasi yang
mempertimbangkan keberagaman dari factor-faktor personal dan situasional dalam
penetapan perilaku positif dalam olahraga.
Perkembangan
karakter mengalami kemajuan berdasarkan dari pengambilan keputusan seseorang
tentang kebaikan dan keburukan sebuah tindakan yang awalnya didasarkan pada
kepentingan diri sendiri menjadi tindakan yang didasarkan pada kepentingan
bersama bagi semua orang yang terlibat. Cara untuk memahami bagaimana cara
untuk meningkatkan perkembangan karakter dan perilaku sportif olahraga, penting
bagi kita untuk memperhatikan sikap-sikap, nilai-nilai, dan norma-norma budaya
dari tiap-tiap individu maupun kelompok.
C.
PERKEMBANGAN
MORAL
Beberapa konsep yang memerlukan penjelasan, antara
lain: perilaku moral (moral behavior),
perilaku tidak bermoral (immoral behavior), perilaku
di luar kesadaran
moral (unmoral behavior), dan
perkembangan moral (moral development)
itu sendiri. Perilaku moral adalah perilaku yang mengikuti kode moral kelompok
masyarakat tertentu. Moral dalam hal ini berarti adat kebiasaan atau tradisi.
Perilaku tidak bermoral berarti perilaku yang gagal mematuhi harapan kelompok
sosial tersebut. Ketidakpatuhan ini bukan karena ketidakmampuan memahami
harapan kelompok tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidaksetujuan
terhadap harapan kelompok sosial tersebut, atau karena kurang merasa wajib
untuk mematuhinya. Perilaku di luar kesadaran moral adalah perilaku yang
menyimpang dari harapan kelompok sosial yang lebih disebabkan oleh
ketidakmampuan yang bersangkutan dalam memahami harapan kelompok sosial.
Perkembangan moral bergantung pada perkembangan intelektual seseorang. Ada
hubungan tetap antara agresi dan orang-orang dengan kedewasaan penalaran moral
yang kurang. Orang yang memiliki tingkat kedewasaan penalaran moral yang kurang
akan bertindak agresif pada suatu ketika atau waktu-waktu tertentu, tetapi meskipun
agresi dihubungkan dengan ketidakdewasaan penalaran moral, hubungan antara
alasan dan perilaku tidak dimengerti dengan sempurna.
Alasan bahwa hubungan antara penalaran moral dan
perilaku moral tidak mutlak adalah bahwa beberapa langkah harus diambil untuk
mengartikan penalaran moral menjadi tindakan moral. Empat tahapan tindakan
moral pada hubungan penalaran moral dan perilaku:
1) Mengartikan
situasi sebagai salah satu yang melibatkan beberapa macam penalaran moral.
2) Memutuskan
tujuan terbaik dari tindakan moral
3) Membuat
pilihan untuk bertindak dengan moral.
4) Menerapkan
sebuah tanggapan moral.
Sebagai contoh Brian sebagai seorang kapten tim
tenis yang harus menentukan servis lawan dalam sebuah pertandingan apakah masuk
atau keluar. Jika brian berkata keluar maka timnya menang dan jika brian
berkata masuk, maka timnya kalah. Merujuk pada keempat tahapan di atas, Brian
harus mampu untuk menganalisis situasi dalam kejadian ini yang melibatkan
sebuah pilihan moral. Kemampuannya untuk melihat perasaan orang lain sangat
penting di sini. Karena tentu saja brian akan merasakan hal yang sama jika dia
dicurangi oleh lawannya.
Oleh karena itu, brian harus mempertimbangkan
berbagai pilihan moral yang berat (membuat keputusan yang baik, berbohong, atau
hanya dengan mengatakan tidak tahu apakah servis itu masuk atau tidak). Dalam
hal ini brian harus menggunakan penalaran moralnya dengan baik untuk
mengartikan sebuah tujuan dari tindakan moralnya. Brian kemudian terlibat dalam
situasi dimana harus memilih antara prioritas pada nilai-nilai moral atau
keuntungan diri sendiri. Apakah mau jujur atau berbohong dan keterkaitan
keputusannya dengan sebuah kemenangan bagi timnya mungkin mempengaruhi
keputusannya.
Pada akhirnya Brian harus memimpin sumber daya fisik
dan psikologisnya untuk menerjemahkan keputusan moralnya ke dalam sebuah
tindakan moral. Sebagai contoh, Brian harus percaya diri bahwa dia akan mampu
mengatasi rekan-rekan timnya yang mungkin saja tidak menerima jika memutuskan
servis tersebut masuk dan membuat timnya kalah. Mengetahui bagaimana seseorang
beralasan secara moral dan bagaimana mereka menerjemahkan ke dalam sebuah
tindakan sangatlah penting, tidak hanya dengan rekan kerja disekitar, namun
juga untuk membimbing kepelatihannya.
D.
STRATEGI
UNTUK MENINGKATKAN PENGEMBANGAN KARAKTER
1)
Menetapkan perilaku sportif dalam
olahraga dalam program.
Seperti yang telah
diketahui bahwa tidak ada pengertian umum dari perilaku
sportifdalam olahraga,
oleh karena itu akan sulit untuk menerjemahkan hal apa yang
dianggap patut dan tidak.
Tabel dibawah ini bisa menjadi contoh dari peraturan tertulis dalam
program kepelatihan anak.
Bidang Perhatian
|
Perilaku positif
|
Perilaku negative
|
Perilaku
pada offisial
|
Bertanya
pada offisial dengan cara yang pantas
|
Beradu
pendapat dengan offisial, mengejek official
|
Perilaku
pada lawan
|
Memperlakukan
semua lawan dengan hormat dan penuh martabat setiap waktu
|
Beradu
pendapat dengan lawan, bertindak kasar, bertindak agresif pada lawan
|
Perilaku
pada rekan tim
|
Hanya
memberikan kritik yang membangun dan dorongan positif
|
Berkomentar
negatif atau kasar, mengejek atau
berdebat dengan rekan kerja
|
Perilaku
terhadap penonton
|
Hanya
berkomentar positif pada penonton
|
Berdebat
dengan penonton, mengejek, membuat kesan buruk pada penonton
|
Penerimaan
peraturan dan pelanggaran
|
Menaati
semua peraturan
|
Membuat
keuntungan pada celah peraturan (misalnya, saat setiap anak harus bermain,
pelatih member tahu anak yang kurang memiliki kemampuan untuk berpura-pura sakit
saat hari pertandingan penting)
|
2)
Memperkuat dan mendorong perilaku sportif dalam
olahraga.
Memperkuat dan mendorong kebiasaan-kebiasaan dan
perilaku-perilaku yang
diterapkan dalam program sebagai perilaku sportif dalam olahraga. Menghukum dan
melarang perilaku yang tidak patut, dalam hal ini tindakan yang konsisten
sangat diperlukan.
3)
Mencontohkan perilaku yang sesuai.
Banyak orang
yang meniru tindakan dari para atlet professional karena banyak dari mereka
yang mempertontonkan perilaku sportif dalam
olahraga dan tidak jarang
terdapat para professional yang menunjukkan perilaku negatif, disinilah
peran para pelatih untuk menerjemahkan pesan yang dimaksud atas perilaku
tersebut pada para atlet.
4)
Menjelaskan kenapa tindakan tertetu
dianggap sesuai.
Hanya orang-orang yang telah
menyerap prinsip-prinsip moral
dengan baik yang mampu memutuskan yang mana yang benar dan salah.Pada orang-orang seperti
itulah kita bisa berharap
mereka bisa bersikap
baik dalam berbagai situasi.Sebagai
pelaku olahraga harus memiliki sebuah dasar dalam berbagai komponen
yang ada dalam kriteria
perilaku sportifdalam olahraga. Dasar-dasar tersebut menyediakan penjelasan-penjelasan berdasar
pada unsur-unsur penting
yang mendasari tingkatan-tingkatan
pertimbangan moral, yaitu altruism (tindakan
suka rela yang dilakukan oleh seseorang atau pun kelompok orang untuk menolong
orang lain tanpa
mengharapkan imbalan apa pun),aturan yang
tidak memihak, dan keseimbangan
moralberdasarkan kesepakatan bersama yang ditentukanharus secara
berkelanjutan menyampaikan dasar-dasar tersebut.
5)
Membahas dilema moral dan
pilihan-pilihan.
Untuk sebuah pendidikan moral yang
efektif, peserta harus terlibat dalam dialog dan diskusi kelompok tentang
pilihan-pilihan dan dilema
moral.Dilema Moral mengharuskan untuk memutuskan mana yang betul dan salah
secara moral.Pelanggaran aturan, kapan dan kenapa atlet yang cedera
harus bermain, dan siapa yang sebaiknya bermain merupakan contoh-contoh dari dilema
moral.Membahas zona abu-abu dalam
keputusan benar dan salah yang mungkin atau tidak melanggar aturan.
6)
Membangun dilemma moral dan pilihan
dalam latihan.
Beberapa
dilema yang mungkin bisa diterapkan
dalam latihan atlet meliputi:
(1)
Tidak menyediakan peralatan terbaik
yang mencukupi bagi semua atlet.
(2)
Merancang pengulangan dengan
kesempatan yang tidak berimbang untuk latihan, contohnya seorang atlet selalu
menjadi pemain bertahan.
(3)
Merancang pengulangan dimana para
pemain diuji dengan kata-kata (ketawaan,
ejekan) seperti menyuruh sesorang untuk memperagakan kemampuan yang rendah atau
menjadi rekan yang tidak fair
play.
(4)
Merancang pengulangan yang
menyediakan kesempatan untuk permainan kasar.
Setelah para
atlet berusaha
untuk menyelesaikan permasalahan, diikuti dengan diskusi yang mendasari
pertimbangan moral.Strategi untuk meningkatkan perkembangan moral dan perilaku sportifolahraga ini membutuhkan waktu,
perencanaan, dan usaha. Untuk hasil yang maksimal,hal ini harus diterapkan
berkali-kalidan tidak hanya
sekalilatihan.
7)
Mengajari strategi pembelajaran
kooperatif.
Kebanyakan anak di budaya barat lebih dituntut
untuk berkompetisi daripada untuk bekerjasama, oleh karena itu, pengajaran tentang strategi
belajar secara kooperatif diperlukan untuk pembangunan pencapaian motivasi
secara optimal. Para peneliti juga telah sependapat bahwa kemampuan untuk
belajar bagaimana cara bekerja sama sangat penting bagi perkembangan karakter.
8)
Menciptakan iklim yang berorientasi
pada tugas.
Cara ini menekankan pada membuat
atlet memperhatikan hasil-hasil tugas daripada ego, sehingga mereka bisa menilai
kemampuan mereka dari hasil penampilan mereka daripada perbandingan pencapaian
secara sosial.Atlet
yang merasakan lingkungan yang bermotivasikan ego dikategorikan sebagai orang
yang memiliki kepekaan moral lebih rendah dan juga memiliki kecenderungan lebih
tinggi untuk
mengintimidasi.Akan lebih mudah untuk mengajari perilaku sportifdalam olahraga
dan membangun karakter ketika perbandingan dan kompetisi sosial tidak
ditekankan dan peningkatan dan pembelajaran individu lebih ditekankan.Hal ini tidak
berarti bahwa karakter tidak bisa dibangun dalam iklim yang kompetitif, hanya jika
terdapat keuntungan besar yang diperoleh jika usaha menggunakan iklim yang
berorientasi pada tugas ini diterapkan.
9)
Memindah kewenangan dari pemimpin
pada peserta.
Pengembangan
karakter yang paling baik
dalam lingkungan yang secara progresif memindahkan kewenangan dari pemimpin
pada atlet.Sebagai
contoh, suatu kurikulum pendidikan olahraga yang dirancang untuk membantu siswa
menumbuhkan sikap tanggung jawab pribadi dan sosialnya.Kurikulum ini pertama-tama difokuskan
pada siswa yang bertindak secara tidak bertanggung jawab, membantu mereka untuk
menumbuhkan kontrol diri
mereka dengan mengeluarkan mereka dari kelas sehingga mereka tidak mengganggu
temannya.Kontrol diri selanjutnya berkembang, diikuti dengan perkembangan-perkembangan selanjutnya
seperti keterlibatan, pengarahan diri, dan perhatian.
E.
PANDUAN
LATIHAN DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
Dalam
mendukung pola latihan harus memperhatikan beberapa hal berkaitan dengan
orientasi fisik yang mempunyai cakupan sangat luas. Hal-hal tersebut meliputi
peranan dari guru olahraga dan pelatih dalam pengembangan moral dan membuat
pengembangan moral merupakan sebuah pola pikir dibandingkan dengan sebuah
kegiatan yang terbatas, selain itu juga harus memperhatikan peranan dari
kemenangan dan cara-cara di mana belajar dan mengajar perilaku moral yang dapat
dimengerti lebih dari hanya sekedar bermain di lapangan dan mengenali sifat
yang tidak sempurna dalam pengembangan karakter. Hellison membuat sebuah
program olahraga yang bertujuan untuk membantu anak-anak menumbuhkan rasa
tanggung jawab mereka:
1) Level 0-
Irresponsibility (tidak
bertanggung jawab).
Pada level ini
mengelompokkan anak-anak yang tidak termotivasi dan berperilaku yang bersifat
mengganggu. Tugas dari guru olahraga dalam hal ini dalah untuk mengontrol
perilaku mereka tersebut atau bahkan menghilangkannya agar tidak mengganggu
yang lainnya.
2) Level 1 - Self
control (Kontrol diri).
Siswa pada level
ini adalah sering tidak berpartisipasi pada kegiatan belajar, namun mereka bisa
mengontrol perilakunya sehingga siswa pada level ini tidak perlu sampai dihukum
keluar dari kelas. Hal yang perlu dilakukan oleh para guru olahraga adalah
membantunya untuk bisa terlibat dalam kegiatan atau mengajarinya untuk
menghargai perasaan orang lain dan memberi tahu mereka bahwa sikap dan
perilakunya menganggu proses pembelajaran di sekolah.
3) Level 2 -
Involvement (keterlibatan).
Banyak bentuk
yang bisa dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam pelajaran olahraga dan
yang harus dilakukan oleh guru olahraga adalah mendorong siswa untuk lebih
bertanggung jawab pada perkembangan dirinya sendiri dan pengertian dari
keberhasilan.
4) Level 3 - Self
direction (Pengarahan diri).
Level ini mengelompokkan siswa yang dapat
bekerja secara efektif dan mandiri dalam lingkup perkembangan diri dengan
kebutuhan yang dimengerti atau aspirasi. Tugas guru olahraga adalah untuk
membuatnya untuk bisa memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja
secara mendiri dan mematok tujuan-tujuan yang realistis.
5)
Level 4 - Caring
(Membantu).
Pada level ini, satu satunya perhatian bagi
orang lain adalah rasa hormat pada hak-hak dasar siswa. Pada level ini, siswa
tidak hanya sekedar berfokus pada orientasi diri sendiri dan telah termotivasi
oleh orientasi prososialnya. Tugas dari guru olahraga dalam hal ini adalah
memberikan kesempatan yang cukup bagi siswa untuk bekerjasama, memberikan
bantuan, memperlihatkan perhatian, dan membantu orang lain.
F.
PERANAN
PENDIDIK DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
Banyak orang
beranggapan bahwa tidak semestinya guru dan pelatih berperan dalam pengajaran
moral bagi anak-anak. Banyak
yang menganggap bahwa yang lebih berkompeten adalah para orang tua dan
ahli-ahli agama.Pada sisi lain guru olahraga, pelatih, dan pemimpin latihan benar-benar mempengaruhi banyak nilai-nilai, baik secara sengaja atau tidak. Selain permasalahan-permasalahan yang dikaitkan dengan olahraga yang kompetitif,
olahraga penuh dengan kesempatan untuk melawan, belajar, mengubah, dan
memerankan nilai-nilai moral.
1)
Pengembangan Karakter sebagai pola pikir dibandingkan sebagai
kegiatan yang terbatas.
Guruolahraga harus mengedepankanpengembangan
moral dan karakter dalam pengajaran mereka dan memiliki tujuan dalam pengembangan karakter dari waktu ke
waktu dengan menerapkan
beberapa strategi dalam pengembangan karakter. Pengembangan moral dan perilaku sportif dalam
olahraga haruslah menjadi sebuah pola pikir bagi para instruktur atau pelatih
dimana akan selalu berusaha untuk menerapkan pada para pesertadidiknya. Sebagai instruktur
atau pengajar harus beranggapan bahwa
perilaku sportif tersebut
akan muncul dengan seiring pada
strategi-strategi yang
diterapkan secara terus menerus. Moral dan karakter yang berkembang dengan
efektif pada anak didik
harus diajarkan
nilai-nilai moral dan
perilaku sportif.
Guru dan pelatih selalu berupaya untuk mengajarkan nilai-nilai moral kepada
anak didik, menjadi contoh terhadap nilai-nilai yang
terkandung dalam olahragadan
menyediakan mentor individu bagi peserta yang memiliki kesulitan dalam
masalah moral tersebut. Secara jelas, pengembangan moral dan perilaku sportif memerlukan
pemikiran dan kerja keras yang dilakukan secara konsisten oleh para guru
olahraga dan pelatih.Hal tersebut haruslah menjadi sebuah pola pikir, bukannya
kegiatan terbatas yang dilakukan terus menerus.
2)
Mengurangi resiko pada anak dengan
menguatkan daya tahan.
Selain strategi-strategi yang harus
diketahui oleh para guru dan pelatih untuk membangun karakter dan perilaku sportif, juga harus
memperhatikan lingkungan dimana seseorang tinggal yang mungkin saja memiliki
banyak pengaruh dan beresiko bagi perkembangan moral anak (misalnya, obat-obatan,
kehamilan usia dini, kegiatan geng, dsb). Terlebih lagi dengan ketiadaan peran
dari orang tua yang membuat tugas dari guru dan pelatih lebih berat.Hal yang
perlu dilakukan adalah menguatkan daya tahan anak tersebut sehingga mereka
dapat menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif
yang mungkin timbul.Resiliency adalah kemampuan untuk bangkit
kembali dengan sukses setelah berhadapan dengan resiko yang tinggi atau stress.Resiliency berkaitan
dengan mengembalikan diri sendiri dalam kondisi-kondisi dimana seseorang biasanya dicegah. Tiga atribut
pokok yang berkaitan dengan daya tahan pada anak atau pemuda: kompetensi sosial,
kemandirian, serta optimisme dan harapan.
3)
Kompetensi
Sosial.
Kompetensi sosial adalah
kemampuan untuk berinteraksi secara sosial dengan orang lain dan membuat suatu hubungan atau
dukungan sosial yang
kuat. Fleksibilitas dan empati sangat penting dalam perkembangan kempampuan
ini.
4)
Otonomi.
Anak yang berdaya tahan kuat
memiliki keyakinan yang kuat akan siapa dirinya, percaya bahwa bisa
mengendalikan diri dalam lingkungannyadan percaya bisa bertindak mandiri. Pada
intinya, mereka bisa merasakan perasaan kemandirian dan kebebasannya untuk mengontrol
tindakannya sendiri.
5)
Optimisme
dan Harapan.
Rasa percaya akan adanya penghargaan
atau apresiasi atas apa yang diusahakan dan dilakukan oleh anak. Cara terbaik
untuk meningkatkan daya tahan pada anak-anak:
(1)
Fokus pada kelebihan atlet, bukan
pada kekurangannya, untuk membangun rasa percaya dirinya.
(2)
Jangan hanya berfokus pada kegiatan
olahraga atau fisik. Fokus pada semua aspek yang ada pada anak, emosi, sosial,
ekonomi, dan kebutuhan pendidikan mereka.
(3)
Lebih sensitif kepada para
anak muda secara individu dan juga pada perbedaan kebudayannya dan mengenali
tentang dia sebagai seorang individu.
(4)
Mendorong kemandirian dan kontrol
terhadap kehidupan seseorang dengan menyediakan atlet dengan pembelajaran
tentang program kepemimpinan dan tanggung jawab.
(5)
Melibatkan nilai-nilai yang kuat
dan harapan yang jelas dalam program. Pastikan semua atlet mengetahui nilai dan
harapan tersebut.
(6)
Membantu pemuda untuk melihat
tentang kemungkinan lapangan pekerjaan masa depan untuk mereka.
(7)
Menyediakan lingkungan yang aman secara
fisik dan psikis
(8)
Membuat
program yang tidak
terlalu beragam akan tetapi menyediakan keterlibatan dan pertisipasi dalam
jangka waktu lama.
(9)
Memberikan kepemimpinan yang menjaga
program berjalan tanpa gangguan.
(10)
Pastikan program berhubungan dengan
lingkungan dan kebersamaan.
(11)
Menyediakan hubungan dengan orang
dewasa yang mencontohkan kepedulian dan dukungan terhadap sesama.
KESIMPULAN
Partisipasi dalam
olahraga tidak secara otomatis mempunyai efek positif terhadap pembentukan
karakter. Pengalaman yang diperoleh melalui olahraga dapat membentuk karakter,
tetapi hal ini hanya dapat terjadi apabila lingkungan olahraga diciptakan dan
ditujukan untuk mengembangkan karakter. Olahraga dapat membentuk karakter
positif hanya jika kondisi-kondisi yang menyokong ke arah positif dipenuhi,
misalnya kepemimpinan dan perilaku pelatih yang baik. Dukungan dari pelatih,
orang tua, penonton, administrator, maupun dari pemain sendiri sangat
dibutuhkan untuk memperoleh manfaat positif dari partisipasi olahraga.
Karakter dapat
dipelajari dan dibentuk dalam olahraga. Pengalaman yang diperoleh melalui
olahraga dapat membentuk karakter, tetapi hal ini hanya dapat terjadi apabila
lingkungan olahraga diciptakan dan ditujukan untuk mengembangkan karakter. Karakter-karakter
positif diharapkan dapat dan harus dipelajari melalui olahraga atau aktivitas
fisik. Program olahraga dalam semua level dapat didesain untuk mengembangkan
gaya hidup aktif dan karakter positif. Melalui metode pengajaran dan pelatihan
yang tepat, serta usaha-usaha mengembangkan kualitas, olahraga
dan aktivitas fisik
dapat menjadi sarana
yang tepat untuk pembentukan karakter. Olahraga pada
level apapun sangat
potensial untuk mengembangkan
karakter positif.
Nilai-nilai karakter
sosial termasuk loyalitas, dedikasi, pengorbanan, dan kerjasama tim,sedangkan
nilai-nilai moral yaitu kejujuran, keadilan, sportifitas, kebenaran, dan
tanggungjawab. Olahraga mampu membantu perkembangan nilai-nilai sosial, maka
perkembangan karakter melalui olahraga seharusnya mampu membantu atlet belajar
untuk mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan moral dan kemudian bertindak
berdasarkan nilai nilai moral tersebut. Pengembangan karakter
moral adalah kombinasi
proses pembelajaran sepanjang kehidupan, baik formal maupun informal
dengan tiga dimensi, yaitu mengetahui, menilai, dan mengerjakan hal yang benar,
dengan hasil menjadi karakter moral.Pendidikan karakter seharusnya mampu
membawa seseorang ke pengenalan nilai secara
kognitif, penghayatan nilai
secara afektif, dan
akhirnya ke pengamalan nilai
secara nyata.
Olahraga menyediakan
lingkungan sosial, yang secara kultural memungkinkan untuk memperoleh
nilai-nilai dan perilaku positif. Hal ini mengimplikasikan bahwa hal-hal
positif yang dipelajari dalam olahraga dapat ditransfer ke dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam hal
ini olahraga menjadi
agen perkembangan sosial,
yang memungkinkan pelaku-pelakunya menumbuhkan sikap dan perilaku
positif. Pembentukan karakter merupakan
proses yang panjang,
holistik, yang terutama
dipengaruhi oleh variabel kontekstual sepanjang kehidupan seseorang. Jika
olahraga menjadi bagian dari kehidupan seseorang dan pengalaman dalam olahraga
akan mempengaruhi pembentukan karakternya, diharapkan yang muncul adalah
karakter positif.
Kemenangan dalam suatu
pertandingan adalah hal yang penting, tetapi ada yang lebih penting lagi, yaitu
menampilkan keterampilan terbaik dengan semangat persahabatan. Lawan bertanding
sejatinya adalah juga kawan bermain. Pendidikan olahraga adalah wahana yang
sangat ampuh bagi perkembangan karakter dan kepribadian anak bangsa apabila
dikembangkan secara sistematis. Olahraga mengandung dimensi nilai dan perilaku
sportif yang terbukti faktanya. Pertama, sikap sportif, kejujuran, menghargai
teman dan saling mendukung, membantu dan penuh semangat kompetitif. Kedua,
sikap kerja sama team, saling percaya, berbagi, saling ketergantungan, dan kecakapan
membuat keputusan bertindak. Ketiga, sikap dan watak yang senantiasa
optimistis, antusias, partisipasif, gembira, dan humoris. Keempat, pengembangan
individu yang kreatif, penuh inisiatif, kepemimpinan, kerja keras, kepercayaan
diri, dan kepuasan diri. Keunggulan pendidikan olahraga dalam pembentukan karakter
terletak pada perlengkapan nilai-nilai ke dalam perilaku. Itu suatu ciri yang
tidak mudah dilakukan pada pendidikan yang lain dalam kurikulum dan
pembelajaran yang cenderung ke arah teori, abstrak, dan lain sebagainya. Mari
kita budayakan pendidikan karakter melalui aktivitas olahraga di kalangan siswa
khususnya dan semua orang pada umumnya secara sistematis.
DAFTAR PUSTAKA
Agus
Sarengat. 2010. Pembentukan karakter
lewat olahraga. http://agustsarengat.blogspot.com.
Di unduh tanggal 4 Januari 2012
Akhmad
Sobarna. 2010. Benarkah olahraga
membangun karakter.http://sobarnasblog.blogspot.com.
Di unduh tanggal 4 Januari 2012.
Lutan,
Rusli. (2001). Olahraga dan etika fair
play. Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Olahraga, Direktorat Jendral Olahraga, Depertemen Pendidikan Nasional.
Weinberg,
Roberts S; Gould, Daniel. (2007). Foundations
of sport and exercises psychology.4thedition. Champaign II:
Human Kinetics Pubhlisers.Inc.
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih, Komentar dan saran...
Sukses Selalu