Labels

Monday, 6 June 2016

ADAPTASI TERHADAP KETINGGIAN DAN HIGH ALTITUDE TRAINING (HAT) ( FISIOLOGI )



ADAPTASI TERHADAP KETINGGIAN DAN HIGH ALTITUDE TRAINING (HAT)
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fisiologi Olahraga
Dosen : Prof. Dr. Siswantoyo, S.Pd. M.Kes.

PENDAHULUAN
Dataran tinggi merupakan daerah sekitar 5.000 kaki (1.524 meter) di atas permukaan laut. Ini merupakan ketinggian dimana tubuh yang mengalami perubahan kadar oksigen, mulai beradaptasi dengan meningkatkan frekuensi pernapasan.
Adaptasi adalah proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Adaptasi merupakan proses perubahan dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan. Perubahan ini dapat berlangsung secara lambat maupun cepat dikarenakan faktor alam maupun akibat dari manusia. Penyesuaian ini yang mengakibatkan makhluk hidup dapat bertahan lama. Karena banyak berhubungan dengan lingkungan maka ekologi merupakan faktor utama. Adaptasi ini akan berlangsung terus-menerus untuk tetap dapat bertahan hidup.
Menurut buku Fisiologi Dasar Kedokteran yang dikemukakan oleh Guyton. Dimana ketika tekanan parsial oksigen di permukaan laut adalah 159 mm Hg, maka pada ketinggian 50 ribu kaki bisa mencapai hanya 18 mm Hg. Untuk beradaptasi pada kadar oksigen rendah tersebut, sumsum tulang akan memproduksi retikulosit (sel eritrosit / darah merah muda) lebih banyak, Ventilasi maksimal alveolus hingga 1,65 kali lebih tinggi di atas normal (atas rangsangan kemoreseptor arteri yang mendeteksi penurunan kadar oksigen dalam darah), sehingga diharapkan Hemoglobin dalam eritrosit mampu mengikat jumlah oksigen lebih banyak. Makanya banyak atlet-atlet yang mau latihan di daerah dataran tinggi. Tapi kalau sudah balik lagi ke dataran rendah, dalam rentang seminggu, kadar eritrosit akan kembali turun sebagai adaptasi balik di dataran rendah. 
Olahraga memerlukan adanya penyesuaian tubuh terhdap kondisilingkungan, termasuk ketinggian. Adaptasi harus dipahami oleh para atlet dan para pelatih,seorang atlet harus memahami kondisi lingkunganatau kondisi cuaca sebelum bertanding agar dapat mempersiapkan diridengan maksimal.Untuk pelatih menguasai ilmu adaptasi sangat wajibdimiliki,dengan ilmu adaptasi seorang pelatih akan dapat menentukan porsi yang sesuai dengan keadaan lingkungan dan cuaca di sekitar sehinggaseorang altet akan dengan mudah menerima apa yang telah disampaikanseorang pelatih.
Dalam adaptasi ketinggian program latihan untuk menyesuaikan diri terhadaplingkungan sangat dibutuhkan sehingga tidak asal berlatih,apabila progarmlatihan yang dilakukan sesuai maka seorang altet akan cepat beradaptasidengan lingkungan dan akan mendapatkan hasil yang memuaskan tetapisebaliknya apabila program tidak sesuai seorang atlet akan susah beradaptasidengan lingkungan dan hasilnya juga kurang memuaskan.


PEMBAHASAN
Pengertian Adaptasi
Adaptasi merupakan konsep sentral dalam ekologi kesehatan, yaitu penyesuaian dan perubahan yang memungkinkan suatu populasi untuk menjaga atau memelihara dirinya sendiri dalam lingkungannya. Karena hubungan dengan lingkungan dan ekologi berubah seiring waktu karena adaptasi merupakan proses yang terus menerus. Adaptasi meliputi baik kontinuitas dan perubahan retensi dari sifat yang dapat bertahan hidup dan seleksi untuk varian yang menguntungkan.
Adaptasi meliputi kejadian evolusi mayor, pertumbuhan individu, dan tingkah laku serta perubahan fisiologis tetap, hanya beberapa jam atau beberapa menit. Adaptasi secara tidak langsung menunjukkan antitesisnya yaitu jika pada suatu jalan, suatu fungsi bersifat adaptif, lainnya akan kurang adaptif atau maladaptif  di bawah kondisi yang sebanding. Sebagai contoh kemapuan untuk memacu kecepatan jantung dan respirasi saat seseorang lari akan adaptif jika mampu meningkatkan ketersediaan energi dan oleh karena itu dapat melakukan beberapa aktivitas seperti melarikan diri dari bahaya atau menangkap mangsa. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas semacam akan relatif adaptif karena akan membatasi bentuk hidup seseorang.  
Komponen yang penting dari adaptasi adalah menyusun hubungan dalam suatu sistem ekologi, terutama hubungan yang mempengaruhi kesehatan organisme saling mempengaruhi satu sama lainnya dan saat umpan balik berperan dalam merubah tingkat kesehatan mortalitas dan reproduksi, kode informasi berperan yang menanggapi umpan balik ini. Pada manusia, baik kode genetik untuk proses biokimia dan kode kultural untuk teknologi, sosial dan proses kognitif. Kedua macam kode tersebut merupakan mekanisme untuk survival.
Mekanisme Adaptasi
Adaptasi dilakukan untuk mengahdapi stress lingkungan, yaitu suatu kondisi yang mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi dari adaptasi adalah kesesuaian manusia dengan lingkungannya, terjadi melalui hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri dengan lingkungan fisik, biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis, psikologis, sosial, dan genetik. Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan bentuk fungsional organisme dapat bersifat temporal atau permanen melalui proses yang pendek atau seumur hidup meliputi fisiologis, struktural, tingkah laku dan perubahan budaya.
Berdasarkan sifatnya, secara garis besar, adaptasi dibedakan dalam adaptasi biologi dan adaptasi budaya. Adaptasi biologhi adalah adaptasi yang terjadi pada keseluruhan tubuh atau bagian tubuh manusia dalam mempertahankan fungsi normalnya sehingga ada yang lebih menyukai dengan menyebutnya sebagai adaptasi fungsional. Sedang adaptasi budaya meliputi adaptasi dalam tingkah laku, sosial serta peralatan yang merupakan respon non biologis. Baik adaptasi biologi maupun budaya keduanya bertujuan untuk tercapainya keadaan homeostasis, yaitu kemampuan organisme untuk menjaga kestabilan lingkungan. Pada tingkat fungsional, semua respon adaptasi organisme atau individu dilakukan untuk mengembalikan homeostatis internal, sehingga terjaganya keseimbangan dinamis. Homeostatis merupakan fungsi dari interaksi dinamis, mekanisme umpan balik, dimana stimulus yang diberikan memberikan respon yang bertujuan mengembalikan keseimbangan awal. Keperluan untuk terpeliharanya homeostatis didasrakan pada kenyataan bahwa fungsi seluler terbatas untuk variasi yang lebih kecil. Kegagalan untuk mengaktivasi proses adaptasi fungsional akan menyebabkan kegagalan untuk mengembalikan homeostatis yang akan menghasilkan maladaptasi organisme dan kadang mengurangi kapasitas individu.
1.  Adaptasi Fungsional
Adaptasi fungsional meliputi perubahan dalam fungsi sistem organ, fisiologi, histologi, morfologi, dan komposisi biokimia, hubungan anatomi, dan komposisi badan, baik bebas ataupun menyatu dengan organisme secara keseluruhan Perubahan ini dapat terjadi melalui beberapa hal, antara lain adalah sebagai berikut yang ada dibawah ini:
a.    Aklimatisasi
Yaitu perubahan yang terjadi dalam hidup suatu organisme yang mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perubahan tekanan pada iklim alam atau stress lingkungan yang kompleks. Jika ciri adaptif menyertai selama periode pertumbuhan organisme, proses ini disebut adaptasi perkembangan atau aklimatisasi perkembangan.
b.    Akllimasi
Yaitu perubahan biologis adaptif yang terjadi sebagai respon terhadap stress induksi eksperimental tunggal daripada stress kompleks sebagaimana terjadi pada aklimatisasi.
c.    Habituasi
Yaitu reduksi gradual dari respon terhadap atau persepsi dari stimulasi yang berulang-ulang. Dalam waktu lama, habituasi merupakan penurunan respon syaraf yang normal, misalnya pengurangan sensasi nyeri. Perubahan dapat terjadi untuk keseluruhan organisme (habituasi umum), ataupun dapat spesifik untuk bagian tertentu dalam organisme (habituasi spesifik). Habituasi tergantung pada pembelajaran dan pengkondisian yang memungkinkan organisme untuk memudahkan respon yang telah ada terhadap stimulus baru.
Perubahan fisiologis terjadi lebih cepat daripada perubahan genetik dan lebih sering reversible, perubahan ini membentuk sistem respon yang bertingkat dimana penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang pada jenis yang berbeda dilakukan oleh individu yang bervariasi dalam kemampuan genbetiknya untuk membuat penyesuaian yang sukses. Terdapat tiga tingkatan adaptasi fisiologis, yaitu aklimasi, merupajan penyesuan jangka pendek terhadap stress lingkungan yang terjadi secara cepat ; aklimatisasi, penyesuaian lebih jauh tetapi masih merupakan respon reversible terhadap perubahan untuk jangka waktu yang lebih lama ; dan aklimatisasi lanjut yang sifatnya radikal dan hasilnya reversible selama pertumbuhan.
2. Adaptasi Budaya
Adaptasi budaya yaitu respon nonbiologis individu atau populasai untuk memodifikasi atau mengurangi stress lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang mempermudah adaptasi biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat bertahan hidup dan mendiami jauh ke daerah dengan lingkungan yang ekstrem. Manusia adalah hewan yang mempunyai kebudayaan, yang membuat alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan, mempunyai bahasa untuk komunikasi, serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk menghadapi lingkungan. Tidak seperti hewan lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi terhadap lingkungan dengan biologi dan raganya, maka manusia melakukannya terutama dengan budaya, jadi secara ekstrabiologis dan supraorganis.
Wujud adaptasi budaya manusia misalnya dalam konstruksi rumah, penggunaan bermacam-macam pakaian pada iklim yang berbeda, pola tingkah laku tertentu, dan kebiasaaan kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim. Perkembangan pengobatan dari cara primitif sampai modern dan kenaikan produksi energi yang menyertai revolusi industri dan pertanian, juga menunjukkan adaptasi budaya manusia terhadap lingkungan fisik.
3.Adaptasi Genetik
Adaptasi genetik menunjukkan ciri pewarisan yang mempermudah toleransi dan survival suatu individu atau populasi padasebagian lingkungan total. Adaptasi genetik dibentuk melalui aksi seleksi alam yaitu mekanisme dimana genotip individu tersebut menunjukkan adaptasi terbesar (fitness). Kisaran panjang keberhasilan bergantung pada stabilitas dan variabilitas genetiknya. Lebih besar adaptasi maka lebih lama individu atau populasi akan survive. Perubahan genetik merupakan mekanisme adaptasi yang paling lambat dan paling sedikit dapat kembali lagi. Karena individu memiliki potensial genetik untuk adaptasi fisiologis, sangat sulit untuk memisahkn bentuk fisiologis dan genetik dari adaptasi, misalnya toleransi laktosa pada populasi yang mengkonsumsi susu.  
Adaptasi Terhadap Ketinggian
Adaptasi manusia terhadap ketinggian meliputi relatif sebagian kecil dari populasi dunia, hanya sekitar 25 juta orang (kurang dari 1 % masyarakat di dunia) tinggal di tempat yang tinggi.Despite the initial discomfort often experienced by visitors to high altitude, humans have occupied the Andean altiplano for more than 10 000 years, and millions of people, indigenous and otherwise, currently live on these plains, high in the mountains of South America, at altitudes exceeding 3000 m (J.L. Rupert, 2001)
Beberapa daerah di dunia yang mempunyai ketinggian di atas 3000 m dpl yang dihuni oleh manusia antara lain adalah sebagai berikut :
a.    Pegunungan Rocky di Amerika Serikat dan Canada
b.    Sierra Madre di Meksiko
c.    Pegunungan Andes di Amerika Selatan
d.     Pegunungan Pyrenes di antara Prancis dan Spanyol
e.    Jajaran Pegunungan Turki Timur, Persia, Afganistan, dan Pakistan
f.     Pegunungan Himalaya
g.    Dataran Tinggi Tibet dan China Selatan
h.     Pegunungan Atlas di Moroko
i.      Dataran Tinggi di Ethiopia
j.      Pegunungan Tinggi Kalimanjaro di Afrika Timur
k.    Dataran Tinggi Basuto di Afrika Selatan
l.      Pegunungan Tien Shan di Rusia
Dataran tinggi tibet dan Andes dihuni oleh ras mongoloid. Penelitian antropometrik dan fisiologis menunjukkan bahwa Indian Andes mempunyai dada, paru-paru dan jantung yang besar serta darah dengan rasio korpuskulum darah merah yang tinggi.
Penduduk yang mendiami daerah tinggi menunjukkan tiga modal utama dalam adaptasi, yaitu :
1.    Perubahan fisiologis jangka pendek
2.    Modifikasi selama pertumbuhan dan perkembangan
3.    Modifikasi unggun gena
Penduduk yang tinggal di pegunungan tinggi menggunakan obat-obatan seperti alkohol dan coca (tanaman yang menghasilkan narkotika kokain). Untuk mengurangi beban psikologisnya. Penduduk pada tempat tinggi membuat penyesuaian anatomis dan fisiologis yang khas, yang memberinya kapasitas untuk dapat bekerja pada udara pegunungan yang tipis. Mereka cenderung mempunyai kaki pendek, tumbuh lebih lambat dan volume thoraks yang besar, dada yang membulat dan tulang sternum yang panjang mengakomodasi paru-paru yang lebih besar di dalam costae dan sternum.
Maximal oxygen uptake” umunya sering disingkat sebagai VO2 max, dimana V pada oksigen dan max menyatakan kondisi maksimal. VO2 max adalah voluma oksigen maksimal yang digunakan oleh tubuh permenit (Fox 1984 I Ketut Sudiana 212 : 2013). Kemampuan transpor oksigen (O2) secara maksimal dikenal sebagai VO2 max. (Pate 1993:255 I Ketut Sudiana 212 : 2013) mendifinisikan VO2 max sebagai tempo tercepat dimana seseorang dapat menggunakan oksigen (O2) selama berolahraga, VO2 max mengacu pada kecepatan pemakian oksigen (O2), bukan sekedar banyaknya oksigen (O2) yang dipakai. Sedangkan menurut Kathleen Liwijaya (Kuntaraf 1992:34 I Ketut Sudiana 212 : 2013) VO2 max berarti voluma oksigen (O2) yang dapat digunakan oleh tubuh saat bekerja sekeras mungkin. Dari difinisi yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa VO2 max adalah jumlah oksigen (O2) maksimum yang dapat dipergunakan persatuan waktu. 
Faktor-faktor yang mempengaruhi VO2 max.
VO2 max yang baik merupakan indikasi kebugaran fisik seseorang itu baik. Unsur yang paling penting dalam kebugaran jasmani adalah daya tahan cardiorespirasi atau cardiovasculer. Daya tahan cardiorespirasi ini dipengaruhi oleh berapa faktor fisiologis antara lain :
1.    Keturunan, diketahui bahwa 93,4% VO2 max diitentukan oleh faktor genetik.
2.    Usia, daya tahan cardiorespirasi meningkat pada usia anak-anak dan kemudian mencapai puncaknya pada usia 18-20 tahun. Anak-anak yang masih tumbuh dan berkembang ( 13 tahun) bila berlatih akan meningkatkan VO2 max 10-20% lebih besar dari yang tidak terlatih (Faisalm Yunus, 1997 I Ketut Sudiana 213 : 2013).
3.    Jenis kelamin selama akil baliq tidak ada perbedaan antara VO2 max antara anak laki-laki dan perempuan. Setelah usia ini VO2 max perempuan hanya kira-kira 70-75% laki-laki.
4.    Aktivitas fisik, laju pemakian oksigen (O2) meningkat sejalan dengan meningkatnya intensitas kerja tergantung sampai tingkat maksimal. Pemakian oksigen (O2) maksimal atau kerja, aerobik maksimal sangat bervariasi bagi masing-masing individu dan meningkat dengan pelatihan yang sesuai (Pate, 1993 I Ketut Sudiana 213 : 2013).
Selain itu, menurut Lamb (1984) beberapa faktor yang menentukan konsumsi oksigen (O2) maksimal adalah :
1.    Usia.
Usia sangat berpengaruh terhadap cardiac out-put dari jantung, sehingga berpengaruh terhadap pengambilan oksigen (O2) dari alam bebas, antara usia yang muda dan usia yang tua tidak menunjukkan perbedaan yang tajam. Lamb (1984) menyatakan pada usia 10-15 tahun, dapat mencapai persentase peningkatan VO2 max yang sama dengan dewasa, tetapi kurang dari usia tersebut, cendrung lebih kecil persentase peningkatanya.
2.    Jenis kelamin.
Nilai VO2 max dari laki-laki lebih besar dari perempuan, ini disebabkan karena perubahan komposisi tubuh dan kandungan kadar hemoglobin (Hb) pada laki-laki dan perempuan. Perempuan dewasa tidak terlatih memiliki lemak tubuh 26%, sedangkan laki-laki dewasa yang tidak terlatih memiliki lemak tubuh 15% , perbedaan ini mengakibatkan transpor oksigen (O2) pada laki-laki lebih besar dari pada perempuan. Perbedaan VO2 max dari laki-laki dan perempuan adalah sebesar 15%-30%.
3.    Kebiasaan Merokok.
Rokok sangat berpengaruh terhadap daya tahan cardiovaculer dan VO2 max. Karena dalam asap rokok saja mengandung 4% karbon monoksida (CO). Sedangkan afinitas karbon monoksida (CO) pada hemoglobin (Hb) sebesar 200-300 lebih kuat dari pada oksigen O2. Ini berarti karbon monoksida (CO) lebih cepat mengikat hemoglobin (Hb) dibandingkan oksigen (O2). Tubuh saat beraktivitas sangat memerlukan oksigen (O2), jadi karbon monoksida (CO) akan menghambat pengangkutan oksigen (O2) kejaringan tubuh. Bila orang merokok sehari 10-12 maka hemoglobinya (Hb) mengandung 4,9% karbon monoksida (CO), sedangkan kadar oksigen (O2) ke jaringan akan menurun sekitar 5%.
4.    Genetika.
Faktor genetika ini adalah sifat bawaan dari kedua orang tuannya. Pengaruh keturunan ini kadang dilihat dari banyaknya serabut otot, yang berpengaruh terhadap daya tahan dan ketahanan otot. Seseorang yang memiliki serabut otot merah yang banyak akan lebih baik pada cabang olahraga yang sifatnya aerobik, sedangkan seseorang yang memiliki serabut otot putih yang banyak akan lebih baik pada cabang olahraga yang sifatnya anerobik. Jadi besarnya VO2 max pada seseorang bisa diketahui dari faktor bawaaan baik itu dilihat dari : banyaknya serabut otot dan tife serabut otot.
Stress Lingkungan pada Tempat Tinggi
Lingkungan dataran tinggi mempunyai kondisi yang berbeda dengan dataran rendah, baik dalam komposisi udara, tekanan oksigen, topografi, cuaca, jenis dan komposisi tanah, habitat, dan sebagainya yang kesemuanya menuntut jenis dan besar aktivitas fisik yang berbeda. Phyle dalam Janatin Hastuti (2005) menyatakan bahwa perbedaan dalam ketinggian mempunyai perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress ekologis yang kompleks, diantaranya sebagai berikut :
1.    Hipoksia
2.    Barometer rendah
3.    Radiasi matahari tinggi
4.    Suhu udara dingin
5.    Kelembaban udara rendah
6.    Angin kencang
7.    Nutrisi terbatas
8.    Medan yang terjal
Dengan bertambahnya ketinggian maka tekanan barometer menurun dan kepadatan udara juga menurun. Lingkungan udara pada tempat tinggi dengan tekanan dan kadar oksigen rendah merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam adaptasi fisik maupun fisiologis manusia yang tinggal di tempat tinggi. Udara yang tipis (tekanan oksigen atmosfer yang rendah) pada tempat tinggi menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak dapat dimodifikasi oleh campur tangan manusia hingga abad ini.
Hipoksia Ketinggian
Dari segi fisiologis, stress lingkungan yang paling penting adalah hipoksia. Telah diketahui pula secara alami terjadi proses adaptasi fisiologis terhadap kondisi lingkungan pada tempat yang tinggi. Dimana adaptasi ini adalah konsekuensi terjadinya hipoksia karena pengurangan jumlah molekul oksigen yang dihirup pada waktu bernapas. Hipoksia merupakan keadaan dimana terjadi defisiensi oksiegn yang mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob sel. Hipoksia merupakan penyebab penting dan umum dari cedera dan kematian sel. Tergantung pada beratnya hipoksia sel dapat mengalami adaptasi, cedera atau kematian. Hipoksia merupakan keadaan dimana terjadi kekurangan oksigen yang mencapai jaringan, gejala yang tampak antara lain mual, nafas pendek, dan pusing. Hipoksia pada tempat tinggi merupakn stress yang tidak mudah dimodifikasi oleh manusia dengan respon budaya maupun tingkah laku dan lebih jauh, semua sistem organ dipengaruhi oleh hipoksia.
Adaptasi biologis terhadap hipoksia tertutama tergantung pada tekanan parsial oksigen di atmosfer, yang secara proporsional menurun dengan bertambahnya ketinggian. Udara mengandung 78,08 % nitrogen, 0,03 % CO2, 20,95 % O2, dan 0,01 % unsur lain. Gas ini bersama-sama mempunyai tekanan 760 mmHg pada 0 dpl dan disebut dengan tekanan barometer. Tekanan tiap-tiap gas berhubungan secara proporsional dengan jumlahnya, sehingga tekanan oksigen sebesar 159 mmHg. Pada ketinggian 3500 m tekanan barometer berkurang menjadi 493 mmHg dan tekanna oksigen berkurang hingga 35% dibandingkan dengan permukaan laut, dan pada ketinggian 4500 m tekanan parsial oksigen menjadi 91 mmHg atau turun sebesar 40 %. Turunnya tekanan oksigen pada tempat tinggi menyebabkan berkurangnya saturasi oksigen darah arteri karena proporsi pembentukan oksihemoglobin dalam darah tergnatung pada tekanan parsial oksigen dalam alveoli. Recent studies of the physiological responses to hypoxia across the life cycle in these groups reveal several differences in adaptive success (Lorna G. Moore,1999).
Manusia sendiri baru mengenal kehidupan di ketinggian yang direkayasa setelah mampunya dibuat pesawat terbang pertama kalinya dengan ketinggian jelajah di atas 10.000 kaki, terutama pesawat militer untuk peperangan. Pada manusia yang mencapai ketinggian lebih dari 3.000 m (10.000 kaki) dalam waktu singkat, tekanan oksigen intra alveolar (PO2) dengan cepat turun hingga 60 mmHg dan gangguan memori, serta gangguan fungsi serebri mulai bermanifestasi. Pada ketinggian yang lebih saturasi O2 arteri (Sat O2) menurun dengan cepat dan pada ketinggian 5.000 m (15.000 kaki), individu yang tidak teraklimatisasi mengalami gangguan. Resiko klinis hipoksia akut pada ketinggian di atas 10.000 kaki juga kemudian diketahui terutama pada penerbangan unpressured cabin (kabin tanpa rekayasa udara). Kondisi-kondisi tersebut diantaranya (pada yang ringan) : penurunan kemampuan terhadap adaptasi gelap, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut jantung, tekanan sistolik, dan curah jantung (cardiac output). Sedangkan jika berlanjut terus akan terjadi gangguan yang lebih berat seperti berkurangnya pandangan sentral dan perifer, termasuk ketajaman penglihatan, dan pendengaran yang terganggu.
Demikian juga kemampuan koordinasi psikomotor akan berkurang. Pada tahapan yang kritis setelah terjadinya sianosis dan sindroma hiperventilasi berat, maka tingkat kesadaran akan berlangsung hilang dan pada tahaop akhir dapat terjadi kejang dilanjutkan dengan henti napas.
Radak et al mengemukakan hasil penelitian tentang perubahan aktivitas enzim antioksidan dan kenaikan level peroksida lipid pada serta otot terhadap pajanan 12 jam di ketinggian. Hasil serupa ditunjukkan pada studi manusia yang dilakukan oleh Moller et al (2001). Sebanyak 12 sukarelawan dipajankan pada ketinggian 4559 m yang berakibat kerusakan pada DNA dan kenaikan peroksida lipid. Pada studi operasi Everest III, pada ketinggian 6.000 m kenaikan peroksida lipid sebanyak 23 % dan menjadi 79 % pada ketinggian 8848 m menunjukkan kenaikan level kerusakan oksidatif sejalan dengan peningkatan ketinggian. Pada level seluler, hipoksia dapat mengakibatkan stress oksidatif pada sel. Sel menghasilkan energy melalui reduksi molekul O2 menjadi H2O. Dalam proses metabolism normal, molekul-molekul oksigen reaktif yang tereduksi dihasilkan dalam jumlah kecil sebagai produk sampingan respirasi mitokondrial. Molekul-molekul oksigen reaktif tereduksi ini dikenal sebagai spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species / ROS). Sel memiliki mekanisme pertahanan untuk mencegah kerusakan akibat molekul ini yang dikenal sebagai sistem antioksidan. Ketidakseimbangan antara proses pembentukan dan eliminasi (scavenging) radikal bebas berakibat pada stress oksidatif.
Seseorang yang belum lama berada pada tempat tinggi akan mengalami adaptasi fisiologis yang merupakan efek permulaan dan respon cepat terhadap hipoksia. Menurut Frisancho (1979) dalam Tutiek Rahayu, efek fisiologis hipoksia sangat kompleks dan bermacam-macam, yang meliputi :
a.    Fungsi Paru-Paru
Efek fisiologis pada paru-paru berupa bertambah besarnya ventilais paru-paru seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat. Volume respirasi per menit pada ketinggian 5000 m naik sekitar 45-69% daripada di daerah permukaan laut. Menurut hasil penelitian saat ini, kenaikan ventilasi paru-paru disebabkan oleh stimulasi badan varoid dan kemoreseptor lainnya oleh hipoksemia. Sebagai akibat dari kenaikan ventilasi pembuangan karbondioksida juga meningkat, yang menyebabkan terjadinya alkalosis respiratorik.
b.    Fungsi Sirkulasi pada Jantung
Dengan bertambahnya hipoksia kecepatan denyut jantung bertambah dari rerata 70 detak per menit menjadi sekitar 105 per menit pada ketinggian 4500 m. Jam-jam pertama setelah tiba pada ketinggian tertentu, denyut nadi saat istirahatmenurun dan kemudian meningkat, pada ketinggian 2000 m peningkatan adalah 10% dan pada ketinggian 4500 m adalah 50%.
c.    Darah
Meliputi kenaikan produksi sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin, kenaikan volume darah serta aktivitas erythropoietik. Pada ketinggian 5000 m jumlah sel darah merah naik dari 5 juta menjadi 7 juta per mm3, kenaikan terjadi pada hari ke 7-14 setelah berada pada ketinggian tersebut. Volume darah bertambah dari 40ml/kg menjadi 50 ml/kg pada ketinggian 4540 m selama 1-3 minggu. Kenaikan produksi sel darah merah tersebut disebabkan oleh kenaikan aktivitas erythropoietik
d.    Sirkulasi Retinal
Setelah 2 jam berada di ketinggian 5330 m diameter arteri dan vena retinal akan naik sekitar seperlimanya.
e.    Sensitivitas Cahaya
Semakin tinggi tempat semakin besar penurunan sensitivitas cahya. Pada ketinggian diatas 4500 m, dibutuhkan sekitar 2,5 kali intensitas normal pada dpl untuk cahaya agar bisa nampak.
f.     Memori dan Pembelajaran
Memori akan menurun dengan bertambahnya ketinggian terutama diatas 3660 m.
g.    Pendengaran
Mempunyai sensitivitas paling rendah terhadap hipoksia. Penurunan ketajaman pendengaran dapat terjadi pada ketinggian lebih dari 6000 m.
h.    Fungsi Motorik
Pada ketinggian lebih dari 4500 m dilaporkan terdapat gejala kelemahan dan inkoordinasi muskuler yang belum jelas disebabkan oleh penurunan kapasitas fungsional otot itu sendiri atau ketiadaan stimulasi otot.
i.      Perasa dan Pengecap
Berada pad atempat tinggi mempengaruhi pemilihan makanan, pada umumnya lebih suka memilih gula dan keinginan untuk lemak menurun. Rasa manis gula berkurang pada tempat tinggi dan dibutuhkan sekitar dua kali jumlah normal untuk rasa manis yang sama di daerah rendah.
j.      Anoreksia dan Kehilangan Berat Badan
Penurunan berat badan disebabkan oleh penurunan konsumsi makanan dan juga oleh kehilangan air badan. Salah satu akibat utama anoreksia adaah ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar.
k.    Aktivitas Ginjal
Terjadi kenaikan aktivitas pada korteks dan medulla ginjal, reduksi sekresi aldosteron dan kenaikan kadar renin dalam plasma.
l.      Fungsi Tiroid
Berada pada tempat tinggi menyebabkan penurunan fungsi tiroid serta retensi iodium.
m.   Sekresi Testosteron
Berada pada ketinggian 4250 m selama 3 hari pertama menyebabkan penurunan sekresi testosteron lebih dari 50% yang disebabkan oleh turunnya Luiteinizing Hormon dalam plasma
n.    Fungsi Seksual
Meliputi penurunan spermatogenesis, perubahan histologis pada testis, terganggunya seklus estrus dan meningkatnya gangguan menstruasi.
Toleransi terhadap tempat tinggi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu umur, ketahanan fisik, dan jenis kelamin. Individu yang masih muda lebihbaik dalam melakukan adaptasi daripada yang sudah tua, ini disebabkan karena fungsi metabolisme tubuh pada usia muda masih baik juga mobilisasi air plasma dalam ruang interstitial atau ekstraseluler. Individu dengan ketahanan fisik yang tinggi memberi toleransi terhadap stress hipoksia lebih baik. Perempuan melakukan adaptasi terhadap ketinggian dengan lebih baik daripada laki-laki. 
Mekanisme Adaptasi Terhadap Ketinggian
Adaptasi Fungsional
Setelah efek permulaan dan respon terhadap stress ketinggian, biasanya dicirikan dengan menghilangnya gejala mountain sickness akut terjadi respon adaptasi yang berkembang secara gradual kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun untuk perkembangan yang lengkap. Frisancho  (1979) menyebutkan beberapa mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi ventilasi paru-paru, volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner, transport oksigen dalam darah, difusi oksigen dari darah ke jaringan, penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
Penduduk asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi terhadap tempat tinggi sejak lahir atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas aerobic yang lebih tinggi daripada subjek yang beraklimatisasi pada saat dewasa. Diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi selama masa pertumbuhan hampir 25% variabilitas dalam kapasitas aerobic dapat dijelaskan dengan faktor perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho et al 1995 dalam Tutiek Rahayu). Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan aktivitas aerobic yang lebih besar diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi sebelum umur 10 tahun daripada setelah umur tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas aerobik normal pada tempat tinggi berhubungan dengan aklimatisasi perkembangan dan fakor genetik tetapi ekspresinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan komposisi badan.
Kapasitasuntukberadaptasipadatempat yang tinggibervariasipadatiapindividu.Beberapa orang tidakpernahberaklimatisasidengansuksessementaralainnyadapatmenyesuaikandiritetapitidakdapatbekerjadenganpenuh.
Salah satu penyebab stress lingkungan di ketinggian untuk manusia yakni tekanan udara yang rendah yang menjadi faktor keterbatasan signifikan dalam daerah ketinggian.
Gambar 1. Tekanan udara menurun ketika
ketinggian meningkat.
Presentase oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2 km) sama seperti sea level (21%). Namun tekanan udara lebih rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh disebabkan molekul pada atmosfer lebih jarang sehingga letak molekul-molekul tersebut saling berjauhan. Ketika kita menghirup udara pada sea level, tekanan atmosfer sekitar 1,04 kg per cm2 yang menyebabkan oksigen dengan mudah melewati membrane permeable selektif paru menuju darah. Pada ketinggian tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen sulit untuk memasuki sistem vascular tubuh. Hasilnya berdampak pada hipoksia atau kekurangan oksigen.
Ketika kita bepergian ke daerah yang lebih tinggi tubuh kita mulai membentuk respon fisiologis yang efisien. Terdapat kenaikan frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga dua kali lipat walapun saat istirahat. Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena jantung memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen. Kemudian tubuh mulai membentuk respon efisien secara normal yaitu aklimatisasi. Sel darah merah lebih banyak diproduksi untuk membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan lebih mengembang untuk memfasilitasi osmosis oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan vaskularisasi otot yang memperkuat transfer gas.
Gambar 2. Proses aklimatisasi terhadap
tekanan oksigenyang rendah.
Ketika kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru yang lebih besar. Berdasarkan hal ini, Amerika dan beberapa Negara lain sering melatih para atletnya di pegunungan. Akan tetapi, perubahan fisiologik ini hanya berlangsung singkat. Pada beberapa minggu tubuh akan kembali pada kondisi normal.

Gambar 3. Kondisi tubuh yang menguat
untuk waktu singkat setelah
kembali dari ketinggian.

Adaptasi Biokimia
Pada ketinggian didapati terjadinya stress reduktif yang juga mengakibatkan peningkatan produksi radikal bebas oleh sistem transport electron mitokondria terutama pada kompleks I dan III. Pada hipoksia, terjadi penurunan jumlah oksigen yang tersedia untuk direduksi menjadi H2O pada sitokrom oksidase. Terjadilah akumulasi ekuivalen pereduksi yang menginduksi auto oksidasi kompleks mitokondria dan membangkitkan spesies oksigen reaktif. Hipoksia ini dapat menyebabkan peningkatan produksi spesies oksigen reaktif seperti anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), dan hydrogen peroksida (H2O2) dari sel parenkim dan endotel vaskuler yang hipoksik. Maka dari itu, sel memiliki mekanisme pertahanan terhadap radikal bebas yakni berupa sistem antioksidan sebagai adaptasi biokimia dengan memiliki enzim-enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase.

Adaptasi Genetik
Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap ketinggian dengan ditemukannya gen yang selektif pada lingkungan hipoksia. Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen lebih tinggi mempunyai keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.
Belum banyak penelitian yang menghubungkan antara faktor genetik dengan ketinggian geografis. Gelvis meneliti manusia yang tinggal di dataran tinggi Tibet untuk mengetahui bagaimana protein melindungi enzim yang berperan dalam mekanisme perlindungan otot dari bahaya oksidatif. Hasil penelitian mereka menyebutkan adanya adaptasi pada tingkat protein yang menyebabkan orang Tibet mampu hidup di ketinggian. Simonson juga menemukan adanya bukti genetik adaptasi orang Tibet di dataran tinggi. Hasil penelitian mereka menunjukkan dengan akurat ternyata DNA orang Tibet tidak sama dengan orang yang hidup di dataran tinggi Tiongkok. Mereka menemukan dua gen yaitu EGLN 1 dan PPARA yang terletak pada kromosom manusia 1 dan 22. Peranan gen tersebut dalam adaptasi di dataran tinggi tidak jelas, baik EGLN1 dan PPARA dapat menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin. Seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, tetapi orang-orang Tibet mempunyai versi gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang, individu-individu yang mewarisi jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada anak-anak mereka, sehingga jenis gen spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di seluruh penduduk. Penelitian yang berhubungan dengan ketinggian untuk daerah ATPase6 mtDNA manusia sudah pernah dilakukan oleh Ariningtyas dan Humayanti. Mereka meneliti variasi mutasi pada populasi dataran rendah Cirebon dan dataran tinggi Kuningan. Hasil penelitian mereka belum ditemukannya mutasi spesifik untuk populasi dataran rendah dan dataran tinggi, karena mutasi A8701G dan A8860G yang ditemukan terdapat pada dua populasi yang diteliti.
Patofisiologi Ketinggian
Patofisiologi ketinggian yang dimaksud adalah penyakit fisiologis yang disebabkan oleh stress lingkungan tempat tinggi. Terdapat beberapa penyakit fisiologis pada ketinggian seperti mountain sickness akut dan edema pulmoner.Mountain sickness akut terjadi selama beberapa hari pertama berada pada hipoksia tempat tinggi. Gejalanya umumnya meliputi anoreksia, mual dan muntah, kelelahan fisik dan mental, gangguan tidur dan sakit kepala. Sementara edema pulmoner mempunyai ciri patologis seperti edema yang tersebar luas pada alveoli, penyumbatan ekstensif kapiler dengan bekuan sel darah merah dan konstriksi vaskuler pulmoner. Penyebabnya diduga karena kenaikan tekanan kapiler.
Pendakian yang cepat ke ketinggian sedang dan yang lebih tinggi, sering disertai dengan berbagai gejala penyakit, diantaranya sebagai berikut :
a.    Penyakit Gunung Akut
Ini adalah kondisi yang sering dialami pada 4-72 jam pertama pada ketinggian di atas 2000 m. Hal ini disertai dengan gejala-gejala misalnya sakit kepala, mudah tersinggung, susah tidur, pusing, mual, tak ada nafsu makan dan muntah. Berat gejala-gejala tersebut bagian terbesarnya tergantung pada kecepatan pendakian. Penyakit gunung akut (PGA) dapat diminimalkan bila pendakian dari ketinggian rendah (<1500 m) ke ketinggian sedang (>2000 m) berlangsung lambat meliputi beberapa hari, asupan cairan dan karbohidrat dalam tata-gizi ditingkatkan dan program latihan diatur pada tingkat yang ringan. Biasanya penyakit itu hanya berlangsung untuk 2-3 hari. Acetazolamide (Diamox = sejenis diuretika) terbukti dapat meminimalkan kejadian PGA (Sutton et al. 1979).
b.    Udema Paru Pada Ketinggian Tinggi
Hal ini adalah kegawatan medis dan memerlukan pertolongan segera dan bila mungkin dievakuasi. Perjalanan waktunya sama dengan PGA. Gejalanya yang menonjol meliputi sesak nafas, batuk, rasa tak nyaman di dada dan sering disertai terbentuknya sputum yang banyak dan berbusa disertai bercak darah. Pertolongan terdiri dari mengistirahatkan penderita dalam posisi tegak (mengurangi udeme paru), memberi O2, frusemide (Lasix - diuretika) dan bila mungkin segera evakuasi.
c.    Udema Cerebral Pada Ketinggian Tinggi
Hal ini jarang, tetapi merupakan ancaman maut yang terjadi pada ketinggian lebih dari 4000 m. Gejalanya meliputi sakit kepala yang hebat, disorientasi, halusinasi dan coma, dan pertolongan memerlukan terapi O2, kortikosteroid intravena dan segera evakuasi ke dataran rendah. Sekali lagi, pencegahannya dapat dilakukan dengan memberi waktu untuk aklimatisasi selama pendakian yaitu pendakian harus dilakukan secara lambat.
d.    Perdarahan Retina Pada Ketinggian
Pada ketinggian di atas 3500 m perdarahan-perdarahan kecil dapat terjadi di retina. Biasanya asymptomatik kecuali bila terjadi di daerah macula lutea maka akan terjadi gangguan penglihatan. Perkiraan bahwa pendaki-pendaki gunung yang terlatih akan mendapat risiko yang lebih sedikit terhadap masalah-masalah ketinggian ternyata tidaklah benar.
Bahkan pendaki-pendaki besar seperti Sir Edmund Hillary (orang pertama yang mencapai puncak Gunung Everest) juga menderita beberapa kegawatan medis oleh ketinggian, yang mengancam maut.
Latihan ketinggian
Intensitas latihan ditetapkan secara spesifik pada setiap individu sesuai dengankapasitas fisik yang dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan secara terusmenerus agar intensitas latihan benar-benar mencapai intensitas yang diprogramkan.Intensitas latihan dapat diekpresikan dalam satuan absolut (contoh: watt) maupundiekspresikan dalam bentuk relatif (misalkan terhadap frekuensi denyut jantungmaksimal, METs, VO2 maks maupun RPE/Rating of Perceived Exertion) (Jette,1999 dr. Novita Intan Arovah MPH, 2-3. 2013).
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kemampuan seseorang untukmempertahankan suatu intensitas latihan berbeda dengan orang lain. Perbedaan ini sebagian besar disebabkan oleh perbedaan intensitas latihan dimana terjadi akumulasiasam laktat (onset of blood lactate accumulation) (Mock, 1997 dr. Novita Intan Arovah MPH, 2-3. 2013). Perbedaanketahanan dalam menjalankan level intensitas latihan ini menjadi hal yang harusdiperhatikan dalam menyusun program latihan.Menurut Andersen (1999) pada umumnya, intensitas latihan dimulai 40sampai dengan 85% kapasitas fungsional. Pada orang dengan dengan permasalahanjantung, intensitas latihan dapat ditetapkan antara 40 sampai dengan 60% kapasitasfungsional. Durasi latihan dapat ditetapkan sesuai dengan respon seseorang terhadaplatihan. Sebagai contoh, seseorang sudah harus merasa pulih dalam satu jam setelahlatihan. Terlepas dari teknik penetapan intensitas dan level intensitas yang dipilih,intensitas latihan tersebut merupakan intensitas yang dapat dilakukan selama 15sampai dengan 60 menit. Pada dasarnya tujuan akhir menentukan besaran intensitaslatihan adalah untuk memberikan petunjuk bagi seseorang tentang intensitas latihanyang akan dapat memberikan manfaat yang maksimal untuk dirinya sekaligusmeminimalisir resiko terjadinya cedera (Slentz, 2004 dr. Novita Intan Arovah MPH, 2-3. 2013).
Oleh karena adaptasi fisiologis terhadap kehidupan di  ketinggian serupa dengan hasil latihan ketahanan, maka untuk mendapatkan hasil yang terbaik disarankan untuk menggabungkan keduanya yaitu stress ketinggian dan latihan. Penelitian menunjukan bahwa orang-oranng yang tidak terlatih akan mendapatkan kemajuan dalam penampilan dipermukaan laut setelah mendapatkan latihan pada ketinggian, tetapi hal itu belum tentu berlaku bagi atlet yang sangat terlatih. Masalah utamanya pada latihan ketinggian adalah bahwa intensitas dan volume kerja harusss diturunkan agar sesuai dengan lingkungan. Bila seseorang pelatih atay atlet berhasrat agar sesuai pada ketinggian, dianjurkan untuk menggunakan ketinggian sedang (1800-2000 m) pada ketinggian itu gejala penyakit gunung belum teratasi sehingga beban kerja dapat dipertahankan pada tingkat yang layak. Strategi lain ialah dengan melatih secar bergantian untuk jangka pendek pada ktinggian sedang dan peda permukaan laut. Pada ketinggian yang lebih tinggi, agaknya tidak mungkin penyesuaian-penyesuaian fisiologis dapat mengkompensasi berkurangnya penurunan intensitas latihan. Penelitian lebih lanjut dilakukan untuk dapat lenih memahami beberapa waktu yang diperlukan untuk terjadi perubahan pada latihan ketinggian dan beberapa lama hasil latihan dapat dipertahankan pada permukaan laut dan bagaimana variasi individual terhadap latihan pada ketinggian.
Tetapi bila kompetisi akan diselanggarakan pada ketinggian, sangatlah perlu untuk mengadakan latihan-latihan pendahuluan pada ketinggian itu. Sangatlah penting untuk memiliki kemampuan aerobik yang tinggi sebelum meninggalkan permukaan laut dan kemudian diatas ketinggian 1500 m mendaki dengan kecepatan 300 m setiap hari, disertai dengan intensitas latihan yang semakin bertambah. Intensitas latihan yang rendah dan masa pemulihan yang panjang penting pada beberapa hari pertama pada ketinggian sampai menghilangnya gejala-gejala penyakit gunung. Hal ini dapat dibantu dengan mengkonsumsi sejumlah besar cairan dan tata gizi tinggi karbohidrat untuk mengatasi dehidrasi dan meningkatkan kemampuan berlatihnya.
Olahraga tidak hanya dipandang sebagai kebutuhan fisik untuk tetap sehat. Lebih dari itu, telah berabad-abad lamanya olahraga menjadi ajang pertandingan di seluruh dunia.  Ada satu rahasia yang mungkin jarang terungkap. Bagaimana beberapa negara dominan di salah satu cabang olahraga tertentu. Nah, salah satu rahasia itu adalah metode HAT atau High Altitude Training.
High Altitude training atau Altitude Training adalah praktik latihan yang dilakukan oleh atlet di atas ketinggian tertentu, biasanya diatas 2.400 meter atau 8.000 kaki di atas permukaan laut. Latihan seperti ini memberikan efek doping yang legal, dikarenakan akan meningkatkan massa sel darah merah dan hemoglobin, dan juga mengubah metabolisme otot.
Awal mula ditemukannya metode HAT adalah peristiwa yang terjadi pada Olimpiade 1968 yang berlangsung di Mexico City, Meksiko. Ketinggian Mexico City adalah 2.240 meter (7.349 kaki) dari permukaan laut. Pada saat itu banyak atlet dari cabang olahraga yang mengandalkan endurance seperti cabang olahraga lari mengalami penurunan stamina dan bahkan tidak bisa mencapai target catatan waktu seperti dalam latihan mereka.
Hal ini dikarenakan mereka kekurangan oksigen yang mengakibatkan tubuh menjadi lemas. Lalu akhirnya diadakanlah penelitian dan munculah metode HAT yang digunakan sampai sekarang.
Berlatih di ketinggian dapat memicu manfaat fisik dan mental yang akan bertahan selama beberapa minggu setelah kita kembali ke dataran permukaan laut. Ini dikarenakan tingkat EPO (erythropoietin), hormon yang menstimulasi produksi sel darah merah, melonjak ke batas maksimum dalam kurun waktu 24 sampai 48 jam sejak kita tiba di dataran tinggi.
Studi terhadap atlet elit menunjukan level hemoglobin dapat meningkat sekitar 1% per minggu saat mereka berada di dataran tinggi. Penemuan terbaik yaitu ketika atlet non-elit, yang memiliki level hemoglobin rendah sejak awal, akan mengalami peningkatan yang lebih besar dan cepat dibanding atlit elit.
Ketika atlet tersebut bertanding di dataran rendah, tubuhnya masih memiliki jumlah hemoglobin yang tinggi. Dengan kata lain tubuhnya dengan mudah mengikat oksigen. Hal ini mengakibatkan endurance sang atlet meningkat. Tidak hanya itu aja, menurut penelitian lanjutan, metode HAT juga merangsang penggunaan oksigen lebih efisien pada otot. dengan kata lain, strenght atau kekuatan sang atlet juga meningkat.
KESIMPULAN
Adaptasi manusia merupakan penyesuaian dan perubahan yang memungkinkan manusia untuk menjaga atau memelihara dirinya sendiri dalam lingkungannya.Mekanisme adaptasi manusia dilakukan untuk menghadapi stress lingkungan, yaitu suatu kondisi yang mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi dari adaptasi adalah kesesuaian manusia dengan lingkungannya, terjadi melalui hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri dengan lingkungan fisik, biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis, psikologis, sosial, dan genetik. Adaptasi fisiologis terhadap kehidupan di  ketinggian serupa dengan hasil latihan ketahanan, maka untuk mendapatkan hasil yang terbaik disarankan untuk menggabungkan keduanya yaitu stress ketinggian dan latihan. Dalam kondisi bermain di tempat yang tinggi perlu membutuhkan oksigen yang lebih ketimbang di dataran rendah Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan tersebut, bentuk fungsional organisme dapat bersifat temporal atau permanen melalui proses yang pendek atau seumur hidup meliputi fisiologis, struktural, tingkah laku dan perubahan budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Adaptasi terhadap Ketinggian. Diambil dari http://repository.upi.edu/operator/upload/s_d515_0607052_chapter2.pdf diakses pada tanggal 7 mei 2016, jam 20.00 WIB.

Ayu, Anatriera. 2009. Hipoksia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anonim. Modul VII : Stress Lingkungan. Fakultaas Pendidikan Olahraga  dan Kesehatan Jurusan Pendidikan Olahraga. Diambil dari www.google.co.idpada tanggal 7 mei 2016, jam 20.20.


Dr. Novita Intan Arovah MPH. 2013. Prinsip dasar program olahraga kesehatan. Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY.

EnsikloPenjas.2012.http://pendidikanjasmani13.blogspot.co.id/2012/05/pengaruh-ketinggian-terhadap-olahraga.html. diambil pada tanggal 8 mei 2016, jam 16.00 WIB.

I Ketut Sudiana. 2013. Dampak adaptasi lingkungan terhadap perubahan fisiologis. Jurusan Ilmu Keolahragaan, Fakultas Olahraga Dan Kesehatan, Universitas Pendidikan GaneshaSingaraja.

Janatin, Hastuti et al.2005.  Sains Kesehatan : Ciri Antropometris dan Kapasitas Vital Penduduk Dataran Tinggi Kulon Progo. Yogyakarta: UGM.

Moore, Lorna G.1999.Human adaptation to high altitufe:Regional and life-cycle perspectives.Wiley-Liss,Inc.

Rian, Hidayat. 2009. Apa yang Terjadi pada Tubuh Kita di Ketinggian ?. Diambildari http://rianh.wordpress.com/ pada 2 Mei 2016 pukul 21.10 WIB.

Rupert, JL.2001.Genetic approaches to understanding human adaptation to altitude in the andes.British : Departement of Panthology and Laboratory Medicine and Departement of Zoology.

Tutiek, Rahayu. 2011. Handout Adaptasi Manusia Terhadap Ketinggian. Yogyakarta: Jurdik Biologi FMIPA UNY.







No comments:

Post a Comment

Terima Kasih, Komentar dan saran...

Sukses Selalu