ADAPTASI TERHADAP KETINGGIAN DAN HIGH ALTITUDE TRAINING (HAT)
Di susun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Fisiologi Olahraga
Dosen :
Prof. Dr. Siswantoyo, S.Pd. M.Kes.
PENDAHULUAN
Dataran tinggi merupakan daerah sekitar 5.000
kaki (1.524 meter) di atas permukaan laut. Ini merupakan ketinggian dimana
tubuh yang mengalami perubahan kadar oksigen, mulai beradaptasi dengan
meningkatkan frekuensi pernapasan.
Adaptasi adalah proses
penyesuaian diri dengan lingkungan. Adaptasi merupakan proses perubahan dalam
rangka penyesuaian dengan lingkungan. Perubahan ini dapat berlangsung secara
lambat maupun cepat dikarenakan faktor alam maupun akibat dari manusia.
Penyesuaian ini yang mengakibatkan makhluk hidup dapat bertahan lama. Karena
banyak berhubungan dengan lingkungan maka ekologi merupakan faktor utama.
Adaptasi ini akan berlangsung terus-menerus untuk tetap dapat bertahan hidup.
Menurut
buku Fisiologi Dasar Kedokteran yang dikemukakan oleh Guyton. Dimana ketika
tekanan parsial oksigen di permukaan laut adalah 159 mm Hg, maka pada
ketinggian 50 ribu kaki bisa mencapai hanya 18 mm Hg. Untuk beradaptasi pada
kadar oksigen rendah tersebut, sumsum tulang akan memproduksi retikulosit (sel
eritrosit / darah merah muda) lebih banyak, Ventilasi maksimal alveolus hingga
1,65 kali lebih tinggi di atas normal (atas rangsangan kemoreseptor arteri yang
mendeteksi penurunan kadar oksigen dalam darah), sehingga diharapkan Hemoglobin
dalam eritrosit mampu mengikat jumlah oksigen lebih banyak. Makanya banyak
atlet-atlet yang mau latihan di daerah dataran tinggi. Tapi kalau sudah balik
lagi ke dataran rendah, dalam rentang seminggu, kadar eritrosit akan kembali
turun sebagai adaptasi balik di dataran rendah.
Olahraga memerlukan adanya penyesuaian tubuh
terhdap kondisilingkungan, termasuk ketinggian. Adaptasi harus dipahami
oleh para atlet dan para pelatih,seorang atlet harus memahami kondisi
lingkunganatau kondisi cuaca sebelum bertanding agar dapat mempersiapkan
diridengan maksimal.Untuk pelatih menguasai ilmu adaptasi sangat wajibdimiliki,dengan
ilmu adaptasi seorang pelatih akan dapat menentukan porsi yang
sesuai dengan keadaan lingkungan dan cuaca di sekitar
sehinggaseorang altet akan dengan mudah menerima apa yang telah
disampaikanseorang pelatih.
Dalam adaptasi ketinggian program latihan
untuk menyesuaikan diri terhadaplingkungan sangat dibutuhkan sehingga tidak
asal berlatih,apabila progarmlatihan yang dilakukan sesuai maka seorang altet
akan cepat beradaptasidengan lingkungan dan akan mendapatkan hasil yang
memuaskan tetapisebaliknya apabila program tidak sesuai seorang atlet akan
susah beradaptasidengan lingkungan dan hasilnya juga kurang memuaskan.
PEMBAHASAN
Pengertian Adaptasi
Adaptasi merupakan konsep sentral dalam ekologi
kesehatan, yaitu penyesuaian dan perubahan yang memungkinkan suatu populasi
untuk menjaga atau memelihara dirinya sendiri dalam lingkungannya. Karena
hubungan dengan lingkungan dan ekologi berubah seiring waktu karena adaptasi
merupakan proses yang terus menerus. Adaptasi meliputi baik kontinuitas dan
perubahan retensi dari sifat yang dapat bertahan hidup dan seleksi untuk varian
yang menguntungkan.
Adaptasi meliputi kejadian evolusi mayor, pertumbuhan
individu, dan tingkah laku serta perubahan fisiologis tetap, hanya beberapa jam
atau beberapa menit. Adaptasi secara tidak langsung menunjukkan antitesisnya
yaitu jika pada suatu jalan, suatu fungsi bersifat adaptif, lainnya akan kurang
adaptif atau maladaptif di bawah kondisi yang sebanding. Sebagai
contoh kemapuan untuk memacu kecepatan jantung dan respirasi saat seseorang
lari akan adaptif jika mampu meningkatkan ketersediaan energi dan oleh karena
itu dapat melakukan beberapa aktivitas seperti melarikan diri dari bahaya atau
menangkap mangsa. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas semacam akan relatif
adaptif karena akan membatasi bentuk hidup seseorang.
Komponen yang penting dari adaptasi adalah menyusun
hubungan dalam suatu sistem ekologi, terutama hubungan yang mempengaruhi
kesehatan organisme saling mempengaruhi satu sama lainnya dan saat umpan balik
berperan dalam merubah tingkat kesehatan mortalitas dan reproduksi, kode
informasi berperan yang menanggapi umpan balik ini. Pada manusia, baik kode
genetik untuk proses biokimia dan kode kultural untuk teknologi, sosial dan proses
kognitif. Kedua macam kode tersebut merupakan mekanisme untuk survival.
Mekanisme Adaptasi
Adaptasi dilakukan untuk mengahdapi stress lingkungan,
yaitu suatu kondisi yang mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi dari
adaptasi adalah kesesuaian manusia dengan lingkungannya, terjadi melalui
hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri dengan lingkungan fisik,
biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis, psikologis, sosial,
dan genetik. Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan bentuk fungsional organisme
dapat bersifat temporal atau permanen melalui proses yang pendek atau seumur
hidup meliputi fisiologis, struktural, tingkah laku dan perubahan budaya.
Berdasarkan sifatnya, secara garis besar, adaptasi
dibedakan dalam adaptasi biologi dan adaptasi budaya. Adaptasi biologhi adalah
adaptasi yang terjadi pada keseluruhan tubuh atau bagian tubuh manusia dalam
mempertahankan fungsi normalnya sehingga ada yang lebih menyukai dengan
menyebutnya sebagai adaptasi fungsional. Sedang adaptasi budaya meliputi adaptasi
dalam tingkah laku, sosial serta peralatan yang merupakan respon non biologis.
Baik adaptasi biologi maupun budaya keduanya bertujuan untuk tercapainya
keadaan homeostasis, yaitu kemampuan organisme untuk menjaga kestabilan
lingkungan. Pada tingkat fungsional, semua respon adaptasi organisme atau
individu dilakukan untuk mengembalikan homeostatis internal, sehingga
terjaganya keseimbangan dinamis. Homeostatis merupakan fungsi dari interaksi
dinamis, mekanisme umpan balik, dimana stimulus yang diberikan memberikan
respon yang bertujuan mengembalikan keseimbangan awal. Keperluan untuk
terpeliharanya homeostatis didasrakan pada kenyataan bahwa fungsi seluler
terbatas untuk variasi yang lebih kecil. Kegagalan untuk mengaktivasi proses
adaptasi fungsional akan menyebabkan kegagalan untuk mengembalikan homeostatis
yang akan menghasilkan maladaptasi organisme dan kadang mengurangi kapasitas
individu.
1. Adaptasi
Fungsional
Adaptasi
fungsional meliputi perubahan dalam fungsi sistem organ, fisiologi, histologi,
morfologi, dan komposisi biokimia, hubungan anatomi, dan komposisi badan, baik
bebas ataupun menyatu dengan organisme secara keseluruhan Perubahan ini dapat
terjadi melalui beberapa hal, antara lain adalah sebagai berikut yang ada
dibawah ini:
a.
Aklimatisasi
Yaitu
perubahan yang terjadi dalam hidup suatu organisme yang mengurangi ketegangan
yang disebabkan oleh perubahan tekanan pada iklim alam atau stress lingkungan
yang kompleks. Jika ciri adaptif menyertai selama periode pertumbuhan
organisme, proses ini disebut adaptasi perkembangan atau aklimatisasi
perkembangan.
b. Akllimasi
Yaitu
perubahan biologis adaptif yang terjadi sebagai respon terhadap stress induksi
eksperimental tunggal daripada stress kompleks sebagaimana terjadi pada
aklimatisasi.
c. Habituasi
Yaitu
reduksi gradual dari respon terhadap atau persepsi dari stimulasi yang
berulang-ulang. Dalam waktu lama, habituasi merupakan penurunan respon syaraf
yang normal, misalnya pengurangan sensasi nyeri. Perubahan dapat terjadi untuk
keseluruhan organisme (habituasi umum), ataupun dapat spesifik untuk bagian
tertentu dalam organisme (habituasi spesifik). Habituasi tergantung pada
pembelajaran dan pengkondisian yang memungkinkan organisme untuk memudahkan
respon yang telah ada terhadap stimulus baru.
Perubahan fisiologis
terjadi lebih cepat daripada perubahan genetik dan lebih sering reversible,
perubahan ini membentuk sistem respon yang bertingkat dimana penyesuaian jangka
pendek dan jangka panjang pada jenis yang berbeda dilakukan oleh individu yang
bervariasi dalam kemampuan genbetiknya untuk membuat penyesuaian yang sukses.
Terdapat tiga tingkatan adaptasi fisiologis, yaitu aklimasi, merupajan
penyesuan jangka pendek terhadap stress lingkungan yang terjadi secara cepat ;
aklimatisasi, penyesuaian lebih jauh tetapi masih merupakan respon reversible
terhadap perubahan untuk jangka waktu yang lebih lama ; dan aklimatisasi lanjut
yang sifatnya radikal dan hasilnya reversible selama pertumbuhan.
2. Adaptasi Budaya
Adaptasi
budaya yaitu respon nonbiologis individu atau populasai untuk memodifikasi atau
mengurangi stress lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang
mempermudah adaptasi biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat
bertahan hidup dan mendiami jauh ke daerah dengan lingkungan yang ekstrem.
Manusia adalah hewan yang mempunyai kebudayaan, yang membuat alat-alat untuk
mengeksploitasi lingkungan, mempunyai bahasa untuk komunikasi, serta mempunyai
organisasi sosial sebagai alat untuk menghadapi lingkungan. Tidak seperti hewan
lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi terhadap lingkungan dengan biologi
dan raganya, maka manusia melakukannya terutama dengan budaya, jadi secara
ekstrabiologis dan supraorganis.
Wujud
adaptasi budaya manusia misalnya dalam konstruksi rumah, penggunaan bermacam-macam
pakaian pada iklim yang berbeda, pola tingkah laku tertentu, dan kebiasaaan
kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim. Perkembangan pengobatan
dari cara primitif sampai modern dan kenaikan produksi energi yang menyertai
revolusi industri dan pertanian, juga menunjukkan adaptasi budaya manusia
terhadap lingkungan fisik.
3.Adaptasi Genetik
Adaptasi
genetik menunjukkan ciri pewarisan yang mempermudah toleransi dan survival
suatu individu atau populasi padasebagian lingkungan total. Adaptasi genetik
dibentuk melalui aksi seleksi alam yaitu mekanisme dimana genotip individu
tersebut menunjukkan adaptasi terbesar (fitness). Kisaran panjang keberhasilan
bergantung pada stabilitas dan variabilitas genetiknya. Lebih besar adaptasi
maka lebih lama individu atau populasi akan survive. Perubahan genetik
merupakan mekanisme adaptasi yang paling lambat dan paling sedikit dapat
kembali lagi. Karena individu memiliki potensial genetik untuk adaptasi
fisiologis, sangat sulit untuk memisahkn bentuk fisiologis dan genetik dari
adaptasi, misalnya toleransi laktosa pada populasi yang mengkonsumsi
susu.
Adaptasi Terhadap Ketinggian
Adaptasi manusia terhadap ketinggian meliputi relatif
sebagian kecil dari populasi dunia, hanya sekitar 25 juta orang (kurang dari 1
% masyarakat di dunia) tinggal di tempat yang tinggi.Despite the
initial discomfort often experienced by visitors to high altitude, humans have
occupied the Andean altiplano for more than 10 000 years, and millions of
people, indigenous and otherwise, currently live on these plains, high in the
mountains of South America, at altitudes exceeding 3000 m (J.L. Rupert, 2001)
Beberapa daerah di dunia yang mempunyai ketinggian di
atas 3000 m dpl yang dihuni oleh manusia antara lain adalah sebagai berikut :
a.
Pegunungan Rocky di Amerika Serikat dan Canada
b. Sierra Madre di
Meksiko
c. Pegunungan Andes di
Amerika Selatan
d. Pegunungan
Pyrenes di antara Prancis dan Spanyol
e. Jajaran Pegunungan
Turki Timur, Persia, Afganistan, dan Pakistan
f. Pegunungan Himalaya
g. Dataran Tinggi Tibet
dan China Selatan
h. Pegunungan
Atlas di Moroko
i. Dataran Tinggi di
Ethiopia
j. Pegunungan Tinggi
Kalimanjaro di Afrika Timur
k. Dataran Tinggi Basuto
di Afrika Selatan
l.
Pegunungan Tien Shan di Rusia
Dataran tinggi tibet dan Andes dihuni oleh ras
mongoloid. Penelitian antropometrik dan fisiologis menunjukkan bahwa Indian
Andes mempunyai dada, paru-paru dan jantung yang besar serta darah dengan rasio
korpuskulum darah merah yang tinggi.
Penduduk yang mendiami daerah tinggi menunjukkan tiga
modal utama dalam adaptasi, yaitu :
1.
Perubahan fisiologis jangka pendek
2. Modifikasi selama
pertumbuhan dan perkembangan
3.
Modifikasi unggun gena
Penduduk yang tinggal di pegunungan tinggi menggunakan
obat-obatan seperti alkohol dan coca (tanaman yang menghasilkan narkotika
kokain). Untuk mengurangi beban psikologisnya. Penduduk pada tempat tinggi
membuat penyesuaian anatomis dan fisiologis yang khas, yang memberinya
kapasitas untuk dapat bekerja pada udara pegunungan yang tipis. Mereka
cenderung mempunyai kaki pendek, tumbuh lebih lambat dan volume thoraks yang
besar, dada yang membulat dan tulang sternum yang panjang mengakomodasi
paru-paru yang lebih besar di dalam costae dan sternum.
“Maximal oxygen uptake” umunya
sering disingkat sebagai VO2 max, dimana V pada oksigen dan max menyatakan
kondisi maksimal. VO2 max adalah voluma oksigen maksimal yang digunakan oleh
tubuh permenit (Fox 1984 I Ketut
Sudiana 212 : 2013). Kemampuan transpor oksigen (O2) secara maksimal
dikenal sebagai VO2 max. (Pate 1993:255 I
Ketut Sudiana 212 : 2013) mendifinisikan VO2 max sebagai tempo tercepat
dimana seseorang dapat menggunakan oksigen (O2) selama berolahraga, VO2 max
mengacu pada kecepatan pemakian oksigen (O2), bukan sekedar banyaknya oksigen
(O2) yang dipakai. Sedangkan menurut Kathleen Liwijaya (Kuntaraf 1992:34 I Ketut Sudiana 212 : 2013) VO2 max
berarti voluma oksigen (O2) yang dapat digunakan oleh tubuh saat bekerja
sekeras mungkin. Dari difinisi yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa
VO2 max adalah jumlah oksigen (O2) maksimum yang dapat dipergunakan persatuan
waktu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi VO2
max.
VO2 max
yang baik merupakan indikasi kebugaran fisik seseorang itu baik. Unsur yang paling
penting dalam kebugaran jasmani adalah daya tahan cardiorespirasi atau cardiovasculer.
Daya tahan cardiorespirasi ini dipengaruhi oleh berapa faktor fisiologis
antara lain :
1.
Keturunan,
diketahui bahwa 93,4% VO2 max diitentukan oleh faktor genetik.
2.
Usia,
daya tahan cardiorespirasi meningkat pada usia anak-anak dan kemudian
mencapai puncaknya pada usia 18-20 tahun. Anak-anak yang masih tumbuh dan
berkembang ( 13 tahun) bila berlatih akan meningkatkan VO2 max 10-20% lebih
besar dari yang tidak terlatih (Faisalm Yunus, 1997 I Ketut Sudiana 213 : 2013).
3.
Jenis
kelamin selama akil baliq tidak ada perbedaan antara VO2 max antara anak
laki-laki dan perempuan. Setelah usia ini VO2 max perempuan hanya kira-kira
70-75% laki-laki.
4.
Aktivitas
fisik, laju pemakian oksigen (O2) meningkat sejalan dengan meningkatnya
intensitas kerja tergantung sampai tingkat maksimal. Pemakian oksigen (O2)
maksimal atau kerja, aerobik maksimal sangat bervariasi bagi masing-masing
individu dan meningkat dengan pelatihan yang sesuai (Pate, 1993 I Ketut Sudiana 213 : 2013).
Selain itu,
menurut Lamb (1984) beberapa faktor yang menentukan konsumsi oksigen (O2)
maksimal adalah :
1.
Usia.
Usia sangat berpengaruh terhadap cardiac out-put dari
jantung, sehingga berpengaruh terhadap pengambilan oksigen (O2) dari alam
bebas, antara usia yang muda dan usia yang tua tidak menunjukkan perbedaan yang
tajam. Lamb (1984) menyatakan pada usia 10-15 tahun, dapat mencapai persentase
peningkatan VO2 max yang sama dengan dewasa, tetapi kurang dari usia tersebut,
cendrung lebih kecil persentase peningkatanya.
2.
Jenis
kelamin.
Nilai VO2 max dari laki-laki lebih besar dari perempuan,
ini disebabkan karena perubahan komposisi tubuh dan kandungan kadar hemoglobin
(Hb) pada laki-laki dan perempuan. Perempuan dewasa tidak terlatih memiliki
lemak tubuh 26%, sedangkan laki-laki dewasa yang tidak terlatih memiliki lemak
tubuh 15% , perbedaan ini mengakibatkan transpor oksigen (O2) pada laki-laki
lebih besar dari pada perempuan. Perbedaan VO2 max dari laki-laki dan perempuan
adalah sebesar 15%-30%.
3.
Kebiasaan
Merokok.
Rokok sangat berpengaruh terhadap daya tahan cardiovaculer
dan VO2 max. Karena dalam asap rokok saja mengandung 4% karbon monoksida
(CO). Sedangkan afinitas karbon monoksida (CO) pada hemoglobin (Hb) sebesar
200-300 lebih kuat dari pada oksigen O2. Ini berarti karbon monoksida (CO)
lebih cepat mengikat hemoglobin (Hb) dibandingkan oksigen (O2). Tubuh saat
beraktivitas sangat memerlukan oksigen (O2), jadi karbon monoksida (CO) akan
menghambat pengangkutan oksigen (O2) kejaringan tubuh. Bila orang merokok
sehari 10-12 maka hemoglobinya (Hb) mengandung 4,9% karbon monoksida (CO),
sedangkan kadar oksigen (O2) ke jaringan akan menurun sekitar 5%.
4.
Genetika.
Faktor
genetika ini adalah sifat bawaan dari kedua orang tuannya. Pengaruh keturunan
ini kadang dilihat dari banyaknya serabut otot, yang berpengaruh terhadap daya
tahan dan ketahanan otot. Seseorang yang memiliki serabut otot merah yang
banyak akan lebih baik pada cabang olahraga yang sifatnya aerobik, sedangkan
seseorang yang memiliki serabut otot putih yang banyak akan lebih baik pada
cabang olahraga yang sifatnya anerobik. Jadi besarnya VO2 max pada seseorang
bisa diketahui dari faktor bawaaan baik itu dilihat dari : banyaknya serabut
otot dan tife serabut otot.
Stress Lingkungan pada Tempat Tinggi
Lingkungan dataran tinggi mempunyai kondisi yang
berbeda dengan dataran rendah, baik dalam komposisi udara, tekanan oksigen,
topografi, cuaca, jenis dan komposisi tanah, habitat, dan sebagainya yang
kesemuanya menuntut jenis dan besar aktivitas fisik yang berbeda. Phyle dalam
Janatin Hastuti (2005) menyatakan bahwa perbedaan dalam ketinggian mempunyai
perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress ekologis
yang kompleks, diantaranya sebagai berikut :
1. Hipoksia
2. Barometer rendah
3. Radiasi matahari tinggi
4. Suhu udara dingin
5. Kelembaban udara rendah
6. Angin kencang
7. Nutrisi terbatas
8. Medan yang terjal
Dengan bertambahnya ketinggian maka tekanan barometer menurun
dan kepadatan udara juga menurun. Lingkungan udara pada tempat tinggi dengan
tekanan dan kadar oksigen rendah merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam
adaptasi fisik maupun fisiologis manusia yang tinggal di tempat tinggi. Udara
yang tipis (tekanan oksigen atmosfer yang rendah) pada tempat tinggi
menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak dapat dimodifikasi oleh campur
tangan manusia hingga abad ini.
Hipoksia Ketinggian
Dari segi fisiologis, stress lingkungan yang paling
penting adalah hipoksia. Telah diketahui pula secara alami terjadi proses
adaptasi fisiologis terhadap kondisi lingkungan pada tempat yang tinggi. Dimana
adaptasi ini adalah konsekuensi terjadinya hipoksia karena pengurangan jumlah
molekul oksigen yang dihirup pada waktu bernapas. Hipoksia merupakan keadaan
dimana terjadi defisiensi oksiegn yang mengakibatkan kerusakan sel akibat
penurunan respirasi oksidatif aerob sel. Hipoksia merupakan penyebab penting
dan umum dari cedera dan kematian sel. Tergantung pada beratnya hipoksia sel
dapat mengalami adaptasi, cedera atau kematian. Hipoksia merupakan keadaan
dimana terjadi kekurangan oksigen yang mencapai jaringan, gejala yang tampak
antara lain mual, nafas pendek, dan pusing. Hipoksia pada tempat tinggi
merupakn stress yang tidak mudah dimodifikasi oleh manusia dengan respon budaya
maupun tingkah laku dan lebih jauh, semua sistem organ dipengaruhi oleh
hipoksia.
Adaptasi biologis terhadap hipoksia tertutama
tergantung pada tekanan parsial oksigen di atmosfer, yang secara proporsional
menurun dengan bertambahnya ketinggian. Udara mengandung 78,08 % nitrogen, 0,03
% CO2, 20,95 % O2, dan 0,01 % unsur lain. Gas ini bersama-sama mempunyai
tekanan 760 mmHg pada 0 dpl dan disebut dengan tekanan barometer. Tekanan
tiap-tiap gas berhubungan secara proporsional dengan jumlahnya, sehingga
tekanan oksigen sebesar 159 mmHg. Pada ketinggian 3500 m tekanan barometer
berkurang menjadi 493 mmHg dan tekanna oksigen berkurang hingga 35%
dibandingkan dengan permukaan laut, dan pada ketinggian 4500 m tekanan parsial
oksigen menjadi 91 mmHg atau turun sebesar 40 %. Turunnya tekanan oksigen pada
tempat tinggi menyebabkan berkurangnya saturasi oksigen darah arteri karena
proporsi pembentukan oksihemoglobin dalam darah tergnatung pada tekanan parsial
oksigen dalam alveoli. Recent
studies of the physiological responses to hypoxia across the life cycle in
these groups reveal several differences in adaptive success (Lorna G. Moore,1999).
Manusia sendiri baru mengenal kehidupan di ketinggian
yang direkayasa setelah mampunya dibuat pesawat terbang pertama kalinya dengan
ketinggian jelajah di atas 10.000 kaki, terutama pesawat militer untuk
peperangan. Pada manusia yang mencapai ketinggian lebih dari 3.000 m (10.000
kaki) dalam waktu singkat, tekanan oksigen intra alveolar (PO2) dengan cepat
turun hingga 60 mmHg dan gangguan memori, serta gangguan fungsi serebri mulai
bermanifestasi. Pada ketinggian yang lebih saturasi O2 arteri (Sat O2) menurun
dengan cepat dan pada ketinggian 5.000 m (15.000 kaki), individu yang tidak
teraklimatisasi mengalami gangguan. Resiko klinis hipoksia akut pada ketinggian
di atas 10.000 kaki juga kemudian diketahui terutama pada penerbangan unpressured
cabin (kabin tanpa rekayasa udara). Kondisi-kondisi tersebut
diantaranya (pada yang ringan) : penurunan kemampuan terhadap adaptasi gelap,
peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut jantung, tekanan sistolik,
dan curah jantung (cardiac output). Sedangkan jika berlanjut terus akan
terjadi gangguan yang lebih berat seperti berkurangnya pandangan sentral dan
perifer, termasuk ketajaman penglihatan, dan pendengaran yang terganggu.
Demikian juga kemampuan koordinasi psikomotor akan
berkurang. Pada tahapan yang kritis setelah terjadinya sianosis dan sindroma
hiperventilasi berat, maka tingkat kesadaran akan berlangsung hilang dan pada
tahaop akhir dapat terjadi kejang dilanjutkan dengan henti napas.
Radak et al mengemukakan hasil penelitian tentang
perubahan aktivitas enzim antioksidan dan kenaikan level peroksida lipid pada
serta otot terhadap pajanan 12 jam di ketinggian. Hasil serupa ditunjukkan pada
studi manusia yang dilakukan oleh Moller et al (2001). Sebanyak 12 sukarelawan
dipajankan pada ketinggian 4559 m yang berakibat kerusakan pada DNA dan
kenaikan peroksida lipid. Pada studi operasi Everest III, pada ketinggian 6.000
m kenaikan peroksida lipid sebanyak 23 % dan menjadi 79 % pada ketinggian 8848
m menunjukkan kenaikan level kerusakan oksidatif sejalan dengan peningkatan
ketinggian. Pada level seluler, hipoksia dapat mengakibatkan stress oksidatif
pada sel. Sel menghasilkan energy melalui reduksi molekul O2 menjadi H2O. Dalam
proses metabolism normal, molekul-molekul oksigen reaktif yang tereduksi
dihasilkan dalam jumlah kecil sebagai produk sampingan respirasi mitokondrial.
Molekul-molekul oksigen reaktif tereduksi ini dikenal sebagai spesies oksigen
reaktif (reactive oxygen species / ROS). Sel memiliki mekanisme
pertahanan untuk mencegah kerusakan akibat molekul ini yang dikenal sebagai
sistem antioksidan. Ketidakseimbangan antara proses pembentukan dan eliminasi (scavenging)
radikal bebas berakibat pada stress oksidatif.
Seseorang yang belum lama berada pada tempat tinggi
akan mengalami adaptasi fisiologis yang merupakan efek permulaan dan respon
cepat terhadap hipoksia. Menurut Frisancho (1979) dalam Tutiek Rahayu, efek
fisiologis hipoksia sangat kompleks dan bermacam-macam, yang meliputi :
a.
Fungsi Paru-Paru
Efek
fisiologis pada paru-paru berupa bertambah besarnya ventilais paru-paru seiring
dengan bertambahnya ketinggian tempat. Volume respirasi per menit pada
ketinggian 5000 m naik sekitar 45-69% daripada di daerah permukaan laut.
Menurut hasil penelitian saat ini, kenaikan ventilasi paru-paru disebabkan oleh
stimulasi badan varoid dan kemoreseptor lainnya oleh hipoksemia. Sebagai akibat
dari kenaikan ventilasi pembuangan karbondioksida juga meningkat, yang
menyebabkan terjadinya alkalosis respiratorik.
b. Fungsi Sirkulasi pada
Jantung
Dengan
bertambahnya hipoksia kecepatan denyut jantung bertambah dari rerata 70 detak
per menit menjadi sekitar 105 per menit pada ketinggian 4500 m. Jam-jam pertama
setelah tiba pada ketinggian tertentu, denyut nadi saat istirahatmenurun dan
kemudian meningkat, pada ketinggian 2000 m peningkatan adalah 10% dan pada
ketinggian 4500 m adalah 50%.
c. Darah
Meliputi
kenaikan produksi sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin, kenaikan volume
darah serta aktivitas erythropoietik. Pada ketinggian 5000 m jumlah sel darah
merah naik dari 5 juta menjadi 7 juta per mm3, kenaikan terjadi pada
hari ke 7-14 setelah berada pada ketinggian tersebut. Volume darah bertambah
dari 40ml/kg menjadi 50 ml/kg pada ketinggian 4540 m selama 1-3 minggu. Kenaikan
produksi sel darah merah tersebut disebabkan oleh kenaikan aktivitas
erythropoietik
d. Sirkulasi Retinal
Setelah
2 jam berada di ketinggian 5330 m diameter arteri dan vena retinal akan naik
sekitar seperlimanya.
e. Sensitivitas Cahaya
Semakin
tinggi tempat semakin besar penurunan sensitivitas cahya. Pada ketinggian
diatas 4500 m, dibutuhkan sekitar 2,5 kali intensitas normal pada dpl untuk
cahaya agar bisa nampak.
f. Memori dan
Pembelajaran
Memori
akan menurun dengan bertambahnya ketinggian terutama diatas 3660 m.
g. Pendengaran
Mempunyai
sensitivitas paling rendah terhadap hipoksia. Penurunan ketajaman pendengaran
dapat terjadi pada ketinggian lebih dari 6000 m.
h. Fungsi Motorik
Pada
ketinggian lebih dari 4500 m dilaporkan terdapat gejala kelemahan dan
inkoordinasi muskuler yang belum jelas disebabkan oleh penurunan kapasitas
fungsional otot itu sendiri atau ketiadaan stimulasi otot.
i. Perasa dan Pengecap
Berada
pad atempat tinggi mempengaruhi pemilihan makanan, pada umumnya lebih suka
memilih gula dan keinginan untuk lemak menurun. Rasa manis gula berkurang pada
tempat tinggi dan dibutuhkan sekitar dua kali jumlah normal untuk rasa manis
yang sama di daerah rendah.
j. Anoreksia dan
Kehilangan Berat Badan
Penurunan
berat badan disebabkan oleh penurunan konsumsi makanan dan juga oleh kehilangan
air badan. Salah satu akibat utama anoreksia adaah ketidakseimbangan antara
energi yang masuk dengan energi yang keluar.
k. Aktivitas Ginjal
Terjadi
kenaikan aktivitas pada korteks dan medulla ginjal, reduksi sekresi aldosteron
dan kenaikan kadar renin dalam plasma.
l. Fungsi Tiroid
Berada
pada tempat tinggi menyebabkan penurunan fungsi tiroid serta retensi iodium.
m. Sekresi Testosteron
Berada
pada ketinggian 4250 m selama 3 hari pertama menyebabkan penurunan sekresi
testosteron lebih dari 50% yang disebabkan oleh turunnya Luiteinizing Hormon
dalam plasma
n. Fungsi Seksual
Meliputi penurunan
spermatogenesis, perubahan histologis pada testis, terganggunya seklus estrus
dan meningkatnya gangguan menstruasi.
Toleransi terhadap tempat tinggi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya yaitu umur, ketahanan fisik, dan jenis kelamin.
Individu yang masih muda lebihbaik dalam melakukan adaptasi daripada yang sudah
tua, ini disebabkan karena fungsi metabolisme tubuh pada usia muda masih baik
juga mobilisasi air plasma dalam ruang interstitial atau ekstraseluler.
Individu dengan ketahanan fisik yang tinggi memberi toleransi terhadap stress
hipoksia lebih baik. Perempuan melakukan adaptasi terhadap ketinggian dengan lebih
baik daripada laki-laki.
Mekanisme Adaptasi Terhadap Ketinggian
Adaptasi Fungsional
Setelah efek permulaan dan respon terhadap stress
ketinggian, biasanya dicirikan dengan menghilangnya gejala mountain
sickness akut terjadi respon adaptasi yang berkembang secara gradual
kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun untuk
perkembangan yang lengkap. Frisancho (1979) menyebutkan beberapa
mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung
dengan ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui
modifikasi ventilasi paru-paru, volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner,
transport oksigen dalam darah, difusi oksigen dari darah ke jaringan, penggunaan
oksigen pada tingkat jaringan.
Penduduk asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi
terhadap tempat tinggi sejak lahir atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas
aerobic yang lebih tinggi daripada subjek yang beraklimatisasi pada saat
dewasa. Diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi selama masa
pertumbuhan hampir 25% variabilitas dalam kapasitas aerobic dapat dijelaskan
dengan faktor perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho et al
1995 dalam Tutiek Rahayu). Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan
aktivitas aerobic yang lebih besar diantara subjek yang beraklimatisasi pada
tempat tinggi sebelum umur 10 tahun daripada setelah umur tersebut. Sehingga
dapat dikatakan bahwa kapasitas aerobik normal pada
tempat tinggi berhubungan dengan aklimatisasi perkembangan dan fakor genetik tetapi ekspresinya dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan komposisi badan.
Kapasitasuntukberadaptasipadatempat
yang tinggibervariasipadatiapindividu.Beberapa orang tidakpernahberaklimatisasidengansuksessementaralainnyadapatmenyesuaikandiritetapitidakdapatbekerjadenganpenuh.
Salah satu penyebab stress lingkungan di ketinggian
untuk manusia yakni tekanan udara yang rendah yang menjadi faktor keterbatasan
signifikan dalam daerah ketinggian.
Gambar 1. Tekanan udara menurun ketika
ketinggian meningkat.
Presentase oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2
km) sama seperti sea level (21%). Namun tekanan udara lebih
rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh disebabkan molekul pada atmosfer
lebih jarang sehingga letak molekul-molekul tersebut saling berjauhan. Ketika
kita menghirup udara pada sea level, tekanan atmosfer sekitar 1,04 kg per cm2
yang menyebabkan oksigen dengan mudah melewati membrane permeable selektif paru
menuju darah. Pada ketinggian tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen
sulit untuk memasuki sistem vascular tubuh. Hasilnya berdampak pada hipoksia
atau kekurangan oksigen.
Ketika kita bepergian ke daerah yang lebih tinggi
tubuh kita mulai membentuk respon fisiologis yang efisien. Terdapat kenaikan
frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga dua kali lipat walapun saat
istirahat. Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena jantung memompa lebih
kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen. Kemudian tubuh mulai membentuk
respon efisien secara normal yaitu aklimatisasi. Sel darah merah lebih banyak
diproduksi untuk membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan lebih mengembang
untuk memfasilitasi osmosis oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan
vaskularisasi otot yang memperkuat transfer gas.
Gambar 2. Proses aklimatisasi terhadap
tekanan oksigenyang rendah.
Ketika kembali pada level permukaan laut setelah
terjadi aklimatisasi yang sukses terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai
lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru yang lebih besar. Berdasarkan
hal ini, Amerika dan beberapa Negara lain sering melatih para atletnya di
pegunungan. Akan tetapi, perubahan fisiologik ini hanya berlangsung singkat.
Pada beberapa minggu tubuh akan kembali pada kondisi normal.
Gambar 3. Kondisi tubuh yang menguat
untuk waktu singkat setelah
kembali dari ketinggian.
Adaptasi Biokimia
Pada ketinggian didapati terjadinya stress reduktif
yang juga mengakibatkan peningkatan produksi radikal bebas oleh sistem
transport electron mitokondria terutama pada kompleks I dan III. Pada hipoksia,
terjadi penurunan jumlah oksigen yang tersedia untuk direduksi menjadi H2O pada
sitokrom oksidase. Terjadilah akumulasi ekuivalen pereduksi yang menginduksi
auto oksidasi kompleks mitokondria dan membangkitkan spesies oksigen reaktif.
Hipoksia ini dapat menyebabkan peningkatan produksi spesies oksigen reaktif
seperti anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH),
dan hydrogen peroksida (H2O2) dari sel parenkim dan
endotel vaskuler yang hipoksik. Maka dari itu, sel memiliki mekanisme
pertahanan terhadap radikal bebas yakni berupa sistem antioksidan sebagai adaptasi
biokimia dengan memiliki enzim-enzim antioksidan seperti superoksida dismutase
(SOD), glutation peroksidase, dan katalase.
Adaptasi Genetik
Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap
ketinggian dengan ditemukannya gen yang selektif pada lingkungan hipoksia.
Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen lebih tinggi mempunyai
keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.
Belum banyak penelitian yang menghubungkan antara
faktor genetik dengan ketinggian geografis. Gelvis meneliti manusia yang
tinggal di dataran tinggi Tibet untuk mengetahui bagaimana protein melindungi
enzim yang berperan dalam mekanisme perlindungan otot dari bahaya oksidatif.
Hasil penelitian mereka menyebutkan adanya adaptasi pada tingkat protein yang
menyebabkan orang Tibet mampu hidup di ketinggian. Simonson juga menemukan
adanya bukti genetik adaptasi orang Tibet di dataran tinggi. Hasil penelitian
mereka menunjukkan dengan akurat ternyata DNA orang Tibet tidak sama dengan
orang yang hidup di dataran tinggi Tiongkok. Mereka menemukan dua gen yaitu
EGLN 1 dan PPARA yang terletak pada kromosom manusia 1 dan 22. Peranan gen
tersebut dalam adaptasi di dataran tinggi tidak jelas, baik EGLN1 dan PPARA
dapat menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin. Seluruh manusia mempunyai
gen EPAS1, tetapi orang-orang Tibet mempunyai versi gen yang spesial. Melalui
proses evolusi yang panjang, individu-individu yang mewarisi jenis gen ini
mampu bertahan dan menurunkannya pada anak-anak mereka, sehingga jenis gen
spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di seluruh penduduk. Penelitian
yang berhubungan dengan ketinggian untuk daerah ATPase6 mtDNA manusia sudah
pernah dilakukan oleh Ariningtyas dan Humayanti. Mereka meneliti variasi mutasi
pada populasi dataran rendah Cirebon dan dataran tinggi Kuningan. Hasil
penelitian mereka belum ditemukannya mutasi spesifik untuk populasi dataran
rendah dan dataran tinggi, karena mutasi A8701G dan A8860G yang ditemukan
terdapat pada dua populasi yang diteliti.
Patofisiologi Ketinggian
Patofisiologi ketinggian yang dimaksud adalah penyakit
fisiologis yang disebabkan oleh stress lingkungan tempat tinggi. Terdapat
beberapa penyakit fisiologis pada ketinggian seperti mountain sickness
akut dan edema pulmoner.Mountain sickness akut terjadi selama
beberapa hari pertama berada pada hipoksia tempat tinggi. Gejalanya umumnya
meliputi anoreksia, mual dan muntah, kelelahan fisik dan mental, gangguan tidur
dan sakit kepala. Sementara edema pulmoner mempunyai ciri patologis seperti
edema yang tersebar luas pada alveoli, penyumbatan ekstensif kapiler dengan
bekuan sel darah merah dan konstriksi vaskuler pulmoner. Penyebabnya diduga
karena kenaikan tekanan kapiler.
Pendakian yang cepat ke ketinggian sedang dan yang
lebih tinggi, sering disertai dengan berbagai gejala penyakit, diantaranya
sebagai berikut :
a.
Penyakit Gunung Akut
Ini
adalah kondisi yang sering dialami pada 4-72 jam pertama pada ketinggian di
atas 2000 m. Hal ini disertai dengan gejala-gejala misalnya sakit kepala, mudah
tersinggung, susah tidur, pusing, mual, tak ada nafsu makan dan muntah. Berat
gejala-gejala tersebut bagian terbesarnya tergantung pada kecepatan pendakian.
Penyakit gunung akut (PGA) dapat diminimalkan bila pendakian dari ketinggian
rendah (<1500 m) ke ketinggian sedang (>2000 m) berlangsung lambat
meliputi beberapa hari, asupan cairan dan karbohidrat dalam tata-gizi
ditingkatkan dan program latihan diatur pada tingkat yang ringan. Biasanya
penyakit itu hanya berlangsung untuk 2-3 hari. Acetazolamide (Diamox = sejenis
diuretika) terbukti dapat meminimalkan kejadian PGA (Sutton et al. 1979).
b. Udema Paru Pada
Ketinggian Tinggi
Hal
ini adalah kegawatan medis dan memerlukan pertolongan segera dan bila mungkin
dievakuasi. Perjalanan waktunya sama dengan PGA. Gejalanya yang menonjol
meliputi sesak nafas, batuk, rasa tak nyaman di dada dan sering disertai
terbentuknya sputum yang banyak dan berbusa disertai bercak darah. Pertolongan
terdiri dari mengistirahatkan penderita dalam posisi tegak (mengurangi udeme
paru), memberi O2, frusemide (Lasix - diuretika) dan bila mungkin segera
evakuasi.
c. Udema Cerebral Pada
Ketinggian Tinggi
Hal
ini jarang, tetapi merupakan ancaman maut yang terjadi pada ketinggian lebih
dari 4000 m. Gejalanya meliputi sakit kepala yang hebat, disorientasi,
halusinasi dan coma, dan pertolongan memerlukan terapi O2, kortikosteroid
intravena dan segera evakuasi ke dataran rendah. Sekali lagi, pencegahannya
dapat dilakukan dengan memberi waktu untuk aklimatisasi selama pendakian yaitu
pendakian harus dilakukan secara lambat.
d. Perdarahan Retina
Pada Ketinggian
Pada
ketinggian di atas 3500 m perdarahan-perdarahan kecil dapat terjadi di retina.
Biasanya asymptomatik kecuali bila terjadi di daerah macula lutea maka akan
terjadi gangguan penglihatan. Perkiraan bahwa pendaki-pendaki gunung yang
terlatih akan mendapat risiko yang lebih sedikit terhadap masalah-masalah
ketinggian ternyata tidaklah benar.
Bahkan
pendaki-pendaki besar seperti Sir Edmund Hillary (orang pertama yang mencapai
puncak Gunung Everest) juga menderita beberapa kegawatan medis oleh ketinggian,
yang mengancam maut.
Latihan ketinggian
Intensitas
latihan ditetapkan secara spesifik pada setiap individu sesuai dengankapasitas
fisik yang dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan secara terusmenerus agar
intensitas latihan benar-benar mencapai intensitas yang diprogramkan.Intensitas
latihan dapat diekpresikan dalam satuan absolut (contoh: watt)
maupundiekspresikan dalam bentuk relatif (misalkan terhadap frekuensi denyut
jantungmaksimal, METs, VO2 maks maupun RPE/Rating of Perceived Exertion)
(Jette,1999 dr. Novita Intan Arovah
MPH, 2-3. 2013).
Hal yang
perlu diperhatikan adalah bahwa kemampuan seseorang untukmempertahankan suatu
intensitas latihan berbeda dengan orang lain. Perbedaan ini sebagian besar
disebabkan oleh perbedaan intensitas latihan dimana terjadi akumulasiasam
laktat (onset of blood lactate accumulation) (Mock, 1997 dr. Novita Intan Arovah MPH, 2-3. 2013). Perbedaanketahanan dalam
menjalankan level intensitas latihan ini menjadi hal yang harusdiperhatikan
dalam menyusun program latihan.Menurut Andersen (1999) pada umumnya, intensitas
latihan dimulai 40sampai dengan 85% kapasitas fungsional. Pada orang dengan
dengan permasalahanjantung, intensitas latihan dapat ditetapkan antara 40
sampai dengan 60% kapasitasfungsional. Durasi latihan dapat ditetapkan sesuai
dengan respon seseorang terhadaplatihan. Sebagai contoh, seseorang sudah harus
merasa pulih dalam satu jam setelahlatihan. Terlepas dari teknik penetapan intensitas
dan level intensitas yang dipilih,intensitas latihan
tersebut merupakan intensitas yang dapat dilakukan selama 15sampai dengan 60
menit. Pada dasarnya tujuan akhir menentukan besaran intensitaslatihan adalah
untuk memberikan petunjuk bagi seseorang tentang intensitas latihanyang akan
dapat memberikan manfaat yang maksimal untuk dirinya sekaligusmeminimalisir
resiko terjadinya cedera (Slentz, 2004 dr.
Novita Intan Arovah MPH, 2-3. 2013).
Oleh karena adaptasi
fisiologis terhadap kehidupan di ketinggian serupa dengan hasil latihan
ketahanan, maka untuk mendapatkan hasil yang terbaik disarankan untuk
menggabungkan keduanya yaitu stress ketinggian dan latihan. Penelitian
menunjukan bahwa orang-oranng yang tidak terlatih akan mendapatkan kemajuan
dalam penampilan dipermukaan laut setelah mendapatkan latihan pada ketinggian,
tetapi hal itu belum tentu berlaku bagi atlet yang sangat terlatih. Masalah
utamanya pada latihan ketinggian adalah bahwa intensitas dan volume kerja
harusss diturunkan agar sesuai dengan lingkungan. Bila seseorang pelatih atay
atlet berhasrat agar sesuai pada ketinggian, dianjurkan untuk menggunakan
ketinggian sedang (1800-2000 m) pada ketinggian itu gejala penyakit gunung
belum teratasi sehingga beban kerja dapat dipertahankan pada tingkat yang
layak. Strategi lain ialah dengan melatih secar bergantian untuk jangka pendek
pada ktinggian sedang dan peda permukaan laut. Pada ketinggian yang lebih
tinggi, agaknya tidak mungkin penyesuaian-penyesuaian fisiologis dapat
mengkompensasi berkurangnya penurunan intensitas latihan. Penelitian lebih
lanjut dilakukan untuk dapat lenih memahami beberapa waktu yang diperlukan
untuk terjadi perubahan pada latihan ketinggian dan beberapa lama hasil latihan
dapat dipertahankan pada permukaan laut dan bagaimana variasi individual
terhadap latihan pada ketinggian.
Tetapi bila kompetisi
akan diselanggarakan pada ketinggian, sangatlah perlu untuk mengadakan
latihan-latihan pendahuluan pada ketinggian itu. Sangatlah penting untuk
memiliki kemampuan aerobik yang tinggi sebelum meninggalkan permukaan laut dan
kemudian diatas ketinggian 1500 m mendaki dengan kecepatan 300 m setiap hari,
disertai dengan intensitas latihan yang semakin bertambah. Intensitas latihan
yang rendah dan masa pemulihan yang panjang penting pada beberapa hari pertama
pada ketinggian sampai menghilangnya gejala-gejala penyakit gunung. Hal ini
dapat dibantu dengan mengkonsumsi sejumlah besar cairan dan tata gizi tinggi
karbohidrat untuk mengatasi dehidrasi dan meningkatkan kemampuan berlatihnya.
Olahraga tidak hanya
dipandang sebagai kebutuhan fisik untuk tetap sehat. Lebih dari itu, telah
berabad-abad lamanya olahraga menjadi ajang pertandingan di seluruh
dunia. Ada satu rahasia yang mungkin jarang terungkap. Bagaimana beberapa
negara dominan di salah satu cabang olahraga tertentu. Nah, salah satu rahasia
itu adalah metode HAT atau High Altitude Training.
High Altitude training atau
Altitude Training adalah praktik latihan yang dilakukan oleh atlet di atas
ketinggian tertentu, biasanya diatas 2.400 meter atau 8.000 kaki di atas permukaan
laut. Latihan seperti ini memberikan efek doping yang legal, dikarenakan akan
meningkatkan massa sel darah merah dan hemoglobin, dan juga mengubah
metabolisme otot.
Awal mula ditemukannya
metode HAT adalah peristiwa yang terjadi pada Olimpiade 1968 yang berlangsung
di Mexico City, Meksiko. Ketinggian Mexico City adalah 2.240 meter (7.349 kaki)
dari permukaan laut. Pada saat itu banyak atlet dari cabang olahraga yang
mengandalkan endurance seperti cabang olahraga lari mengalami penurunan stamina
dan bahkan tidak bisa mencapai target catatan waktu seperti dalam latihan
mereka.
Hal ini dikarenakan mereka
kekurangan oksigen yang mengakibatkan tubuh menjadi lemas. Lalu akhirnya
diadakanlah penelitian dan munculah metode HAT yang digunakan sampai sekarang.
Berlatih di ketinggian dapat
memicu manfaat fisik dan mental yang akan bertahan selama beberapa minggu
setelah kita kembali ke dataran permukaan laut. Ini dikarenakan tingkat EPO
(erythropoietin), hormon yang menstimulasi produksi sel darah merah, melonjak ke
batas maksimum dalam kurun waktu 24 sampai 48 jam sejak kita tiba di dataran
tinggi.
Studi terhadap atlet elit
menunjukan level hemoglobin dapat meningkat sekitar 1% per minggu saat mereka
berada di dataran tinggi. Penemuan terbaik yaitu ketika atlet non-elit, yang
memiliki level hemoglobin rendah sejak awal, akan mengalami peningkatan yang
lebih besar dan cepat dibanding atlit elit.
Ketika atlet tersebut
bertanding di dataran rendah, tubuhnya masih memiliki jumlah hemoglobin yang
tinggi. Dengan kata lain tubuhnya dengan mudah mengikat oksigen. Hal ini
mengakibatkan endurance sang atlet meningkat. Tidak hanya itu aja, menurut
penelitian lanjutan, metode HAT juga merangsang penggunaan oksigen lebih
efisien pada otot. dengan kata lain, strenght atau kekuatan sang atlet juga
meningkat.
KESIMPULAN
Adaptasi manusia merupakan penyesuaian dan perubahan
yang memungkinkan manusia untuk menjaga atau memelihara dirinya sendiri dalam
lingkungannya.Mekanisme adaptasi manusia dilakukan untuk menghadapi stress
lingkungan, yaitu suatu kondisi yang mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi
dari adaptasi adalah kesesuaian manusia dengan lingkungannya, terjadi melalui
hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri dengan lingkungan fisik,
biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis, psikologis, sosial,
dan genetik. Adaptasi fisiologis terhadap kehidupan di ketinggian serupa
dengan hasil latihan ketahanan, maka untuk mendapatkan hasil yang terbaik
disarankan untuk menggabungkan keduanya yaitu stress ketinggian dan latihan.
Dalam kondisi bermain di tempat yang tinggi perlu membutuhkan oksigen yang
lebih ketimbang di dataran rendah Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan
tersebut, bentuk fungsional organisme dapat bersifat temporal atau permanen
melalui proses yang pendek atau seumur hidup meliputi fisiologis, struktural,
tingkah laku dan perubahan budaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. Adaptasi
terhadap Ketinggian. Diambil dari http://repository.upi.edu/operator/upload/s_d515_0607052_chapter2.pdf diakses pada tanggal
7 mei 2016, jam 20.00 WIB.
Ayu,
Anatriera. 2009. Hipoksia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Anonim. Modul
VII : Stress Lingkungan.
Fakultaas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Jurusan Pendidikan
Olahraga. Diambil dari www.google.co.idpada tanggal 7 mei 2016, jam 20.20.
Brilio.2013.https://www.brilio.net/news/metode-hat-metode-latihan-fisik-di-ketinggian-yang-bisa-kamu-coba-160108g.html. di ambil pada tanggal 8 mei 2016,
jam 15.05 WIB.
Dr. Novita Intan Arovah MPH. 2013. Prinsip dasar program olahraga
kesehatan. Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY.
EnsikloPenjas.2012.http://pendidikanjasmani13.blogspot.co.id/2012/05/pengaruh-ketinggian-terhadap-olahraga.html.
diambil pada tanggal 8 mei 2016, jam 16.00 WIB.
I Ketut Sudiana. 2013. Dampak adaptasi lingkungan terhadap perubahan
fisiologis. Jurusan Ilmu Keolahragaan, Fakultas Olahraga Dan Kesehatan, Universitas
Pendidikan GaneshaSingaraja.
Janatin,
Hastuti et al.2005. Sains Kesehatan : Ciri Antropometris
dan Kapasitas Vital Penduduk Dataran Tinggi Kulon Progo. Yogyakarta: UGM.
Moore,
Lorna G.1999.Human adaptation to high
altitufe:Regional and life-cycle perspectives.Wiley-Liss,Inc.
Rian,
Hidayat. 2009. Apa yang Terjadi pada Tubuh Kita di Ketinggian ?.
Diambildari http://rianh.wordpress.com/ pada 2 Mei 2016
pukul 21.10 WIB.
Rupert,
JL.2001.Genetic approaches to
understanding human adaptation to altitude in the andes.British :
Departement of Panthology and Laboratory Medicine and Departement of Zoology.
Tutiek,
Rahayu. 2011. Handout Adaptasi Manusia Terhadap Ketinggian.
Yogyakarta: Jurdik Biologi FMIPA UNY.
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih, Komentar dan saran...
Sukses Selalu