REVITALISASI KARAKTER BANGSA DALAM BUDAYA
SPORTIF OLAHRAGA
MATA
KULIAH : PSIKOLOGI OLAHRAGA
Pembimbing : Dr. DIMYATI, M.Si.
ABSTRAK
Secara umum tujuan makalah REVITALISASI KARAKTER
PERILAKU SPORTIF OLAHRAGAMATA dan pengembangannya adalah untuk menghasilkan Atlit atau
Peserta didik dapat mengimplementasikan karakter sportif dilingkungan manapun
berada. secara teknik mempunyai strategi dan mengenali karakter objek yang
menjadi sasaran ketika menjadi seorang guru atupun pelatih didunia sport.
Untuk menguji kefektivitasan dapat melihat berbagai
latarbelakang dan faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan makalah ini dapat
disimpulkan bahwa: berbagai aspek olahraga yang dipertandingkan dan karakter
anak bangsa belum kekeh untuk mengedepankan jiwa sportifitas. Dengan adanya
makalah ini kita dapat mengungkapkan masalah dan mempercepat proses kegiatan
agar karakter patriot menjiwa setiap anak bangsa.
Kata Kunci
: Revitalisasi, Fair Play, Prilaku Positif, Karakter
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR
ISI...................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.
Latar
Belakang ......................................................................................... 1
2.
Tujuan
....................................................................................................... 5
3.
Manfaat..................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A.
Pengertian
................................................................................................. 6
1. Revitalisasi.................................................................................... 6
2. Fair Play........................................................................................ 7
3. Prilaku Positif................................................................................ 11
4. Karakter......................................................................................... 13
B.
Faktor
yang mempengaruhi karakter Kepribadian.................................... 15
1. Faktor Genetik Keturunan ( Heriditer )........................................ 15
2. Faktor Lingkungan ( Encironment ).............................................. 16
3. Faktor Fisik................................................................................... 17
4. Faktor Psiko-Edukatif................................................................... 17
5. Faktor Spritual ( Faktor Spritual )................................................. 17
C.
Pengembangan
Karakter & Prilaku Sportif............................................... 17
1. Pendekatan pembelajaran sosial.................................................... 17
2. Pendekatan pengembangan struktural........................................... 19
3. Pendekatan psikologi sosial........................................................... 21
4. Model Interaksi............................................................................. 22
D.
Pengembangan
Sifat & Moral................................................................... 22
1. Perkembangan Sifat...................................................................... 22
2. Perkembangan moral..................................................................... 23
E.
Strategi
untuk meningkatkan pengembangan karakter............................. 25
F.
Panduan
latihan dalam mengembangkan karakter.................................... 29
G.
Peranan
pendidik dalam mengembangkan karakter.................................. 30
BAB
III KESIMPULAN................................................................................... 34
Daftar Pustaka.......................................................................................... 36
Lampiran
Jurnal
1
Jurnal
2
KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji serta syukur ke hadirat Allah yang maha kuasa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tugas
dengan makalah REVITALISASI KARAKTER PERILAKU
SPORTIF OLAHRAGA mata kuliah
Psikologi Olahraga.
Saya menyadari bahwa di dalam proses penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun
demikian, saya telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan
yang saya miliki sehingga dapat selesai dengan baik, saya berharap kepada
pembaca yang budiman untuk memberikan masukan, saran dan kiritik yang sifatnya
membangun guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi seluruh pembaca.
Yogyakarta, 16
April 2016
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Partisipasi
dalam olahraga selalu menjadi bagian penting di lingkungan manusia. Pada zaman
kehidupan modern sekarang ini manusia
tidak bisa dipisahkan dari kegiatan olahraga. Orang-orang mengikuti kegiatan
olahraga dengan alasan kesehatan dan kebugaran, namun ada pula dengan maksud
untuk membangun karakter dan sosialisasi. Olahraga dapat membentuk manusia yang
sehat jasmani dan rohani serta mempunyai watak disiplin dan pada akhirnya akan
terbentuk manusia yang berkualitas, karena pembangunan manusia pada
hakikatnya menuju manusia seutuhnya yang sehat jasmani dan rohani. Olahraga
menjadi bagian penting secara sosial di seluruh dunia. Olahraga dilakukan oleh
seluruh tingkatan mulai usia yang sangat muda sampai usia yang sangat tua,
dengan tujuan dari sekedar kesenangan, rekreasi sampai untuk tujuan
profesional.
Dewasa ini
perkembangan sosial di dalam olahraga semakin maju, banyak fenomena yang
berpengaruh terhadap dinamika interaksi sosial masyarakat. Sejalan dengan
perkembangannya olahraga akan terus mengalami perkembangan sesuai dengan
perkembangan sosial. Banyak pendapat para tokoh pendidikan yang kemudian berdampak
terhadap peradaban manusia terkait tentang arti pentingnya pendidikan olahraga
bagi manusia yang mempunyai kesehatan secara lahiriah maupun rohaniah.
Pendidikan
sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup,
pendidikan jasmani, olahraga dan psikologi olahraga jika dipahami dan
dimengerti bagi masyarakat luas maka akan memiliki peranan sangat penting,
yaitu memberikan kesempatan kepada semua lapisan masyarakat untuk terlibat
langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, olahraga
dan bersosial antar masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain
Olahraga
bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi,
kualitas manusia, menanamkam nilai moral dan akhlak mulia, sportifitas, disiplin,
mempererat dan membina persatuan dan kesatuan bangsa, memperkokoh ketahanan
nasional, serta mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa. Olahraga
dengan segala aspek dan dimensi kegiatannya yang mengandung unsur pertandingan
atau kompetisi, harus disertai dengan sikap dan perilaku yang didasarkan pada
kesadaran moral. Sikap itu menyatakan kesiapan untuk berbuat dan berperilaku
sesuai dengan peraturan. Kesiapan di dalam olahraga tidak hanya loyal terhadap ketentuan yang tersirat,
tetapi juga kesanggupan untuk membaca dan memutuskan pertimbangan berdasarkan
kata hati terhadap kepatutan tindakan itu yang bersumber dari batiniah.
Olahraga
merupakan sebuah cerminan dan sekaligus menjadi wahana bagi pelumatan
nilai-nilai sosial yang mencerminkan potensi dan keterbatasan masyarakat
sekaligus. Manusia mengartikan kepedulian terhadap olahraga adalah semata-mata
menelaah secara kritis tentang potensi olahraga untuk membeberkan konsep dan
fakta bahwa olahraga sebagai aktivitas jasmani yang berisikan permainan sebagai
arena bagi penerapan tindakan moral, oleh karena itu penghampiran yang
digunakan dalam naskah ini terutama pendekatan psikologis.
Sebagai pendidik
harus menyadari bahwa olahraga penuh dengan masalah, silang pendapat, dan
lebih-lebih di lingkungan olahraga kompetitif,
sering ditandai dengan persaingan yang tidak sehat. Seperti halnya dalam
konteks pendidikan jasmani yang mengemban misi kependidikan, olahraga pada
umumnya menyediakan kesempatan yang melimpah bagi setiap individu untuk
berinteraksi, belajar, mengalihkan dan menegakkan nilai moral. Ketegangan moral
yang dialami para pelaku ketika menghadapi situasi yang serba dilematis,
misalnya: konflik antara kepentingan untuk memenangkan pertandingan dan norma
fair play yang secara bersamaan melahirkan konflik moral.
Kegiatan berolahraga adalah sebagai gambaran kecil
seseorang dihadapkan dengan replika kehidupan yang sesungguhnya, oleh karena
itu kegiatan berolahraga sangat potensial untuk melaksanakan pendidikan moral,
apabila dikelola dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Persoalan yang paling
menonjol dewasa ini adalah pengembangan karakter penerapan fair play atau
sportifitas sebagai nilai inti dalam bidang olahraga, sehingga dalam kesempatan
berolahraga seseorang dihadapkan dengan struktur sosial yang dapat diterima dan
dinilai adil dan dalam kesempatan tersebut peraturan yang diterapkan dipandang
lebih fair dari kehidupan yang sesungguhnya.
Dalam
kenyataannya, pelaku olahraga dihadapkan dengan keterbatasan waktu untuk
membuat keputusan, karena itu faktor pengalaman dan konteks kegiatan (misalnya:
taraf kompetisi yang sedang dijalani) ikut mempengaruhi. Bahkan suara dari
dalam sering dominan peranannya, sehingga keputusan-keputusan yang selanjutnya
digolongkan sebagai pengembangan karakter, perilaku fair play yang luar biasa,
seperti berlangsung diluar kesadaran sang pelaku. Karena itu harus disoroti
dari sistem nilai yang kita sebut sportifitas atau fair play. Agar dapat
memperagakan perilaku sportif seseorang bukan hanya mematuhi peraturan yang tertulis
tetapi juga harus dapat berbuat sesuai dengan keputusan hati nurani.
Keprihatinan
terhadap fenomena degradasi moral dan
karakter bangsa makin terasa akut
dari masa ke masa. Pada kalangan masyarakat makin mewabah patologi sosial dan penyalah artian praktik kehidupan demokrasi
dengan kebebasan tanpa aturan, disamping hal itu juga ada perkembangan sentimen ke daerahan dan kesukubangsaan
yang makin meluncurkan semangat nasionalisme sehingga maraknya kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia, terjadinya degradasi
lingkungan, radikalisme dan otensitas agama. Banyak kalangan berpandangan
bahwa masalah multi-dimensional ini
harus dipikul oleh institusi
pendidikan.
Berbeda dengan
peran pendidikan di negara-negara maju yang lebih terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, pendidikan di
Indonesia memikul beban ganda. Beban ganda itu adalah tidak saja transformasi pengetahuan, tetapi
ditambah lagi dengan enkulturasi
berbagai bidang kehidupan, termasuk pembentukan karakter, fair play dan kepribadian perilaku sportif dalam kerangka nation andcharacter building. Meskipun
secara konseptual pokok pikiran ini relatif
lebih mudah dirumuskan, tetapi pada praktiknya sungguh rumit. Moral karakter
berhubungan erat dengan perilaku dan nilai-nilai yang dapat didefinisikan
sebagai sikap yang konsisten untuk merespons situasi melalui ciri-ciri
seperti kebaikan hati, kejujuran, sportifitas, tanggung jawab, fair play dan penghargaan kepada orang
lain.
Pendidikan
olahraga yang selama ini banyak dipandang sebelah mata ternyata banyak mendidik
nilai perilaku yang secara riil
dapat diwujudkan apabila direncanakan secara sistematis. Nilai
dasar dalam kehidupan sehari-hari olahraga sering disikapi
sebagai media hiburan, pengisi waktu luang, senam, rekreasi, kegiatan
sosialisasi, dan meningkatkan derajat kesehatan. Secara
fisik olahraga memang terbukti dapat mengurangi risiko terserang penyakit,
meningkatkan kebugaran, memperkuat tulang, mengatur berat badan, dan
mengembangkan keterampilan.
Hal itu
berbanding terbalik dengan kenyataannya, nilai-nilai yang lebih penting dalam
konteks pendidikan olahraga dan psikologi, yaitu pembentukan karakter dan
kepribadian, masih kurang disadari. Kepribadian, sosialisasi, dan pendidikan
kesehatan, serta kewarganegaraan hakikatnya adalah agenda penting dalam proses
pendidikan. Sebagaimana pentingnya membaca, menulis, dan berhitung, saat ini
perlu ditambahkan lagi dengan respect
and responsibility mengapa, sebab,
sesungguhnya dalam perspektif sejarah sudah sejak lama pendidikan jasmani dan
olahraga dijadikan andalan sebagai wahana yang efektif untuk pembentukan watak,
karakter, dan kepribadian. Bahkan pembentukan sifat kepemimpinan seseorang
dapat dicapai melalui media ini.
Melalui
aktivitas seperti ini, pelaku olahraga memiliki minat sejenis dapat berbagi
pengalaman yang dapat ditransformasikan melalui komunikasi dan interaksi yang kohesif. Peran olahraga sangat penting
dan strategis dalam konteks pengembangankualitas sumber daya manusia yang
sehat, mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki sifat kompetitif yang
tinggi. Selain itu juga penting dalam pengembangan identitas, nasionalisme, dan
kemandirian bangsa. Olahraga yang dikelola secara profesional akan mampu mengangkat martabat bangsa dalam dunia internasional.
Makalah ini akan
membahas tentang memahami pengembangan karakter dan perilaku sportif dalam
olahraga, dengan mengkaji beberapa sub bahasan antara lain: (1) pengertian revitalisasi,
karakter, fair play, perilaku sportif; (2) faktor yang mempengaruhi karakter
kepribadian; (3) pengembangan karakter dan prilaku positif olahraga : 3
pendekatan (4) perkembangan sifat dan
moral (5) strategi untuk meningkatkan pengembangan karakter (6) panduan latihan
dalam mengembangkan karakter (7) peran pendidik dalam pengembangan karakter.
1.
Tujuan
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas terdapat beberapa permasalahan yang
perlu adanya pembahasan antara lain:
1.
Apakah yang dimaksud dengan
revitalisasi, karakter, fair play, prilaku sportif ?
2.
Apa sajakah strategi untuk berjiwa
sportif ?
3.
Bagaimana peran pendidik dalam
pengembangan karakter?
2.
Manfaat
Dari rumusan dan latar belakang diatas,
maka penulis memiliki tujuan dalam menulis makalah ini antara lain:
1.
Untuk mengetahui pengertian dari
revitalisasi, karakter, fair play, perilaku sportif
2.
Untuk mengetahui strategi untuk berjiwa
sportif
3.
Untuk mengetahui tahapan peran pendidik
dalam pengembangan karakter
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Revitalisasi, Fair Play, Karakter dan Perilaku Sportif
Mengartikan karakter, fair play dan perilaku sportif
tidaklah mudah dalam olahraga, masing-masing cabang olahraga memiliki arti yang
berbeda-beda, dicontohkan seorang atlet golf mungkin saja mengartikannya dengan
tidak berbicara dengan lawan selama pertandingan, namun lain halnya dengan seorang
pemain wrestling yang menganggap
berbicara dengan pemain lawan dalam lapangan bukanlah sebuah masalah. Dengan
demikian sesungguhnya tidak ada pengertian secara umum yang dapat diterima oleh
setiap cabang olahraga tentang perilaku positif dalam olahraga.
Karakter dan perilaku sportif dalam olahraga sulit
diartikan, keduanya berkaitan dengan konteks umum moral dalam lingkup olahraga.
Karakter dan perilaku sportif dalam olahraga berkaitan dengan kepercayaan,
keputusan, dan tindakan yang mempertimbangkan hal mana yang baik dan etis serta
hal mana yang salah dan tidak etis dalam dunia olahraga. Moral dalam olahraga
berkaitan erat dengan 3 hal, yakni fair
play, perilaku sportif, dan karakter. Revitalisasi ialah penekanan untuk
budaya moral tersebut dapat terwujud.
1.
Revitalisasi
Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan
menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya
revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan
kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan
sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti
proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali
berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah
membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum
adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu
sekali.
Revitalisasi
termasuk di dalamnya adalah konservasi-preservasi
merupakan bagian dari upaya perancangan kota untuk mempertahankan warisan fisik
budaya masa lampau yang memiliki nilai sejarah dan estetika-arsitektural. Atau
tepatnya merupakan upaya pelestarian lingkungan binaan agar tetap pada kondisi
aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses kerusakan. Tergantung dari
kondisi lingkungan binaan yang akan dilestarikan, maka upaya ini biasanya
disertai pula dengan upaya restorasi,
rehabilitasi dan/atau rekonstruksi.
Jadi, jika dikaitkan dengan ilmu olahraga revitalisasi
adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu moral atlit atau anak didik yang
dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Hal ini mutlak diperlukan
karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah
mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap moral manusia. Dengan
dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi harus mampu
mengangkat isu-isu strategis sang patriot bangsa di dunia olahraga.
2.
Fair
Play
Olahraga
dengan segala aspek dan dimensinya yaitu mengandung unsur pertandingan dan
kompetisi, harus disertai dengan sikap dan perilaku berdasarkan kesadaran
moral. Implementasi pertandingan tidak terbatas pada ketentuan yang
tersurat, tetapi juga kesanggupan mental menggunakan akal sehat. Kepatutan
tindakan itu bersumber dari hati nurani yang disebut dengan istilah fair play.
Model kompetisi yang dijiwai fair play telah diimplementasikan pada
kompetisi nasional dalam forum Olimpiade Olahraga Sekolah Nasional (O2SN) dan
forum internasional, yaitu ASEAN Primary School Sport Olympiade (APSSO).
Hasilnya berpengaruh positif dan menggembirakan karena penerapan tersebut
berimplikasi pada perilaku peserta kompetisi yang lebih mencerminkan jiwa
sportivitas, kejujuran, persahabatan, rasa hormat, dan tanggung jawab dengan
segala dimensinya. Istilah fair play terkandung makna bahwa setiap
penyelenggaraan olahraga harus dijiwai oleh semangat kejujuran dan
tunduk pada tata aturan, baik yang tersurat maupun tersirat. Setiap
pertandingan harus menjunjung tinggi sportifitas, menghormati keputusan
wasit/juri, serta menghargai lawan, baik saat bertanding maupun di luar arena pertandingan.
Kemenangan dalam suatu pertandingan sangat penting, tetapi ada hal yang
lebih penting lagi yaitu menampilkan keterampilan terbaik dengan semangat
persahabatan.
Lawan
bertanding sejatinya adalah juga kawan bermain. Pendidikan olahraga adalah
wahana yang sangat ampuh bagi persemaian karakter dan kepribadian anak bangsa
apabila dikembangkan secara sistematis. Olahraga mengandung dimensi nilai dan
perilaku sportif yang multi-dimensional.
Pertama, sikap sportif, kejujuran,
menghargai teman dan saling mendukung, membantu dan penuh semangat kompetitif. Kedua, sikap kerja sama, team work, saling percaya, berbagi,
saling ketergantungan, dan kecakapan membuat keputusan bertindak. Ketiga, sikap dan watak yang
senantiasa optimistis, antusias, partisipasi, gembira, dan humoris. Keempat, pengembangan individu yang
kreatif, penuh inisiatif, kepemimpinan, determinasi, kerja keras, kepercayaan
diri, kebebasan bertindak, dan kepuasan diri.
Keunggulan
pendidikan olahraga dalam pembentukan karakter terletak pada konkretisasi nilai-nilai
ke dalam perilaku yang merupakan suatu ciri yang tidak mudah dilakukan
pada substansi yang lain dalam kurikulum dan pembelajaran yang cenderung
teoristik, abstrak, dan verbalistik. Moral karakter berhubungan erat dengan
perilaku dan nilai-nilai yang dapat didefinisikan sebagai sikap yang konsisten
untuk merespons situasi melalui ciri-ciri seperti kebaikan hati, kejujuran,
sportifitas, tanggung jawab, dan penghargaan kepada orang lain tetapi
nilai-nilai yang lebih penting dalam konteks pendidikan dan psikologi, yaitu
pembentukan karakter dan kepribadian, masih kurang disadari. Peran olahraga
kian penting dan strategis dalam konteks pengembangan kualitas sumber daya
manusia yang sehat, mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki sifat kompetitif
yang tinggi.
Fair
play adalah kebesaran hati terhadap lawan yang menimbulkan perhubungan
kemanusian yang akrab dan hangat dan mesra. Fair play merupakan kesadaran yang
selalu melekat, bahwa lawan bertanding adalah kawan bertanding yang diikat oleh
pesaudaraan olahraga. Jadi fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan
martabat ksatria pada olahraga. Nilai fair play melandasi pembentukan sikap,
dan selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku. Sebagai konsep moral fair play
berisi penghargaan terhadap lawan serta harga diri yang berkaitan antara kedua
belah pihak memandang lawannya sebagai mitranya. Keseluruhan dan upaya dan
perjuangan itu dilaksanakan dengan bertumpu pada standar moral yang di hayati
oleh masing-masing belah pihak. Fair play adalah suatu bentuk harga diri yang
tercermin dari : (1) Kejujuran dan rasa keadilan; (2) Rasa hormat kepada lawan,
baik dalam kekalahan maupun dalam kemenangan; (3) Sikap dan perbuatan ksatria,
tanpa pamrih; (4)Sikap tegas dan berwibawa, apabila terjadi apabila lawan atau
penonton tidak berbuat fair play; (5) Kerendahan hati dalam kemenangan, dan
ketenangan pengendalian diri dalam kekalahan.
Fair
play itu menyatu dengan konsep persahabatan dan menghormati yang lain dan
selalu bermain dalam semangat sejati. Fair play dimaknakan sebagai bukan hanya
unjuk perilaku dan menyatu dengan persoalan yang berkenaan dengan dihindarinya
ulah penipuan, main berpura-pura atau, doping,
kekerasan (baik fisik maupun ungkapan kata-kata), eksploitasi, memanfaatkan peluang, komersialisasi yang berlebih-lebihan atau melampui batas
coruption/korupsi. Fairplay dapat digambarkan dengan istilah” semangat
olahragawan sejati”, yang mengungkapkan bagaimana seseorang bermain serta
bagaimana cara bersikap dan bertindak terhadap orang lain baik pada saat
bermain maupun pada saat lainnya yang masih berkaitan dengan situasi
pertandingan. Fair play akan terwujud apabila terpenuhi perilaku tersebut di
atas, dan sangat dibutuhkan kesungguhan keberanian moral dan keberanian untuk
menanggung resiko. Dalam kaitan ini dibutuhkan sikap ksatria yang menolak
kemenangan dengan segala cara.
Nilai
dalam fair play merupakan rujukan perilaku, sesuatu yang dianggap “luhur” dan
menjadi pedoman hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bidang
keolahragaan, persoalan ini kian relevan untuk dibahas. Kecenderungan sikap dan
partisipasi dalam tindakan dari sekelompok warga masyarakat, termasuk
organisasi induk olahraga, yang berusaha untuk meningkatkan prestasi,
membangkitkan masalah yang semakin kompleks dan mendalam, hal ini dikarenakan
nilai-nilai ideal olahraga makin luntur, di geser oleh nilai “baru” sebagai
konsekuensi dari perubahan sosial. Kegiatan dalam keolahragaan merupakan
cerminan dalam lingkup kecil dari tatanan masyarakat yang lebih luas. Nilai
dalam masyarakat telah berubah, dan hal itu juga berdampak nyata ke dalam
olahraga.
Penerapan
fair play atau sportifitas sebagai nilai inti dalam bidang olahraga menjadi
persoalan yang menonjol dewasa ini. Tantangannya muncul dalam aneka perilaku
atlet, pelatih,offisial, dan bahkan juga dari kalangan insan pers(media).
Permasalahan yang paling menonjol adalah
upaya memperoleh kemenangan yang disertai dengan upaya bukan mengandalkan
keunggulan teknik dan taktik dan yang diperagakan adalah gejala kekerasan dalam
olahraga dan kecendrungan untuk memaksakan kehendak, seperti mencampuri
keputusan wasit. Sebaliknya, wasit itu sendiri dalam beberapa kasus masih belum
mampu untuk berdiri sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk
berdiri di tengah-tengah, tanpa memihak, sesuai dengan fungsinya.
Olahraga dieksploitasi oleh politik, ideologi, dan
dagang karena olahraga sangat tenar dan digemari. Bahkan sekarang ini, sejak
logika politik berubah menjadi logika ekonomi, pengelolaan olahraga dengan
tujuan yang bersifat komersialisasi sangat menonjol, dan bila kita tidak
waspadai, ancaman terhadap fair play semakin besar. Olahraga mengalami bahaya
untuk kehilangan sifat-sifatnya yang murni, yang semestinya olahraga berisi
pertandingan yang bersifat ksatria dan membentuk kepribadian, dapat berubah
menjadi perjuangan yang tidak kenal ampun, yang dikuasai oleh pikiran prestise,
popularitas dan uang. Keadaan demikian perlu disosialisasikan sejak dini, sejak
seseorang mulai belajar olahraga dengan maksud untuk melindungi olahraga dari
bahaya-bahaya yang mengancamnya. Berkenaan dengan hal ini kiranya perlu
disebarluaskan di Indonesia, gagasan dan praktik berolahraga yang dijiwai oleh
semangat sportifitas dan alangkah baiknya jika selalu dapat diterapkan
praktik-praktik yang memperkokoh pengalaman prilaku yang adil dan jujur. Sangat
tepat apabila dilembagakan pemberian penghargaan kepada berbagai pihak yang
menjadi pelaku olahraga yang menunjukkan perilaku yang terpuji yang meliputi
dalam konsep fair play.
Tindakan
fair play diperlukan pada kompetisi-kompetisi olahraga dimana semua peserta
memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi pemenang. Tindakan fair
play tidak hanya membutuhkan pemahaman dan ketaatan pada peraturan-peraturan
formal suatu permainan, tetapi juga pada semangat kerjasama dan peraturan tidak
tertulis yang ada untuk membuat sebuah permainan atau pertandingan bersifat
adil. Dalam hal inilah peran orangtua, pelatih, dan official untuk mengenalkan
secara intensif tindakan fair play sejak dini selama jenjang karir peserta
didik.
3.
Perilaku
Sportif
Perilaku
sportif dalam olahraga melibatkan sebuah kerja keras menuju sukses yang
berkelanjutan yang didukung dengan sifat dan komitmen pada semangat permainan,
sehingga etika-etika standar dalam olahraga tersebut dapat lebih dipentingkan
daripada kepentingan strategi permainan ketika keduanya berselisih, dengan kata
lain seorang atlet akan berlaku sportif meskipun itu bisa menyebabkan kekalahan
dalam suatu pertandingan. Perilaku sportif olahraga berdasarkan pada pemahaman
dasar konsep olahraga para atlet.
Seorang
psikolog olahraga asal Canada, Robert Vallerand dan rekan-rekannya mengadakan
sebuah penelitian yang bertujuan untuk memahami bagaimana para atlet itu
sendiri memahami Perilaku sportif olahraga. Secara khusus penelitian tersebut
mengadakan survey terhadap 1.056 atlet Perancis dan Canada yang
berusia antara 10-18 tahun yang
mewakili tujuh cabang olahraga yang berbeda. Penelitian ini meneliti tentang
Perilaku sportif olahraga dengan melakukan survei langsung pada para atlet.
Terdapat lima faktor yang mempengaruhi Perilaku sportif dalam olahraga
terungkap dalam penelitian ini.
Kelima faktor tersebut adalah: (1) Komitmen
penuh pada keikutsertaan (berpartisipasi dan bekerja keras selama latihan dan
pertandingan, mempelajari kesalahan dan berusaha untuk memperbaiki); (2)
Menghormati dan memperhatikan peraturan dan ofisial (bahkan saat offisial
tampak kurang kompeten); (3) Menghormati dan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan
sosial (berjabat tangan setelah pertandingan, mengakui penampilan baik dari
lawan, menjadi pihak kalah yang baik); (4) Menghormati dan memperhatikan lawan
(meminjamkan peralatan pada lawan, setuju untuk tetap bertanding meskipun tim
lawan dating terlambat, menolak untuk mengambil keuntungan saat lawan cedera);
(5) Mencegah perilaku dan sifat-sifat buruk dalam keikutsertaan (menolak sebuah
pendekatan untuk menang dengan cara apapun, tidak menunjukkan kemarahan setelah
membuat kesalahan, tidak berkompetisi hanya untuk penghargaan dan hadiah
perorangan).
Kesimpulan
penelitian tersebut adalah mengisyaratkan bahwa para atlet mengartikan perilaku
sportif olahraga sebagai “menghormati dan memperhatikan peraturan-peraturan,
kebiasaan sosial, pihak lawan, serta komitmen penuh seseorang pada sebuah
olahraga dan ketiadaan pendekatan-pendekatan negatif dalam keikutsertaan
olahraga.
Dapat
disimpulkan bahwa perilaku sportif olahraga bisa diterima secara luas dalam
semua cabang olahraga. Perilaku sportif dalam olahraga harus diklasifikasikan
secara spesifik, karena hal tersebut berkaitan dengan jenis olahraga, level
pertandingan, dan umur peserta. Namun meskipun tidak terdapat pengertian secara
umum tentang perilaku sportif olahraga, sangat penting bagi kita untuk
mengidentifikasi setiap perilaku sportif olahraga dan berusaha untuk
mengembangkan pengertian spesifik dari hal tersebut karena kita bekerja secara
profesional dalam olahraga, pendidikan olahraga, dan lingkup kepelatihan.
4.
Karakter
Menurut
bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli
psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang
mengarahkan tindakan seorang individu, oleh karena itu apabila pengetahuan
mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula
bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.
Karakter
didefinisikan sebagai suatu
tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam
pikiran, dan dapat disebut dengan kebiasaan. Unsur
terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, karena di dalamnya
terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya dan merupakan
pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang
akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya.
Program
yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka
perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam dan hasil dari perilaku tersebut
membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, apabila program tersebut tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa
kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Dari hal di atas dapat di kaji bahwa
pikiran harus mendapatkan perhatian serius, dengan memahami cara kerja pikiran,
seseorang akan memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Kemampuan
seseorang dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, maka seseorang juga
akan mudah mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya,
jika pikiran seseorang lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan
kejahatan, maka akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan yang disadari
maupun tidak.
Semakin
banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola
pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik
dari masing-masing individu. Setiap individu akhirnya memiliki sistem
kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan
kebiasaan (habit) yang unik. Apabila sistem kepercayaannya benar dan
selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus
baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, apabila sistem kepercayaannya tidak
selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya
akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Karakter
dalam olahraga merujuk pada sebuah kesatuan karakteristik yang dapat
dikembangkan dalam olahraga (pada umumnya mengandung nilai-nilai moral bahwa
kita semua menginginkan para atlet untuk mengembangkan karakter yang baik dalam
olahraga). Pihak-pihak yang mendukung adanya manfaat-manfaat pengembangan
karakter dalam olahraga berpendapat bahwa atlet (peserta) belajar untuk
mengatasi segala rintangan, bekerjasama dengan rekan satu tim, mengembangkan
kemampuan kontrol diri, dan tahan terhadap kekalahan. Karakter dapat dilihat
sebagai sebuah konsep menyeluruh yang memadukan antara fair play dan perilaku positif
dalam olahraga dengan dua nilai penting lain yaitu perasaan dan integritas.
oleh karena itu karakter dalam olahraga
menggabungkan empat nilai yang saling terkait: perasaan, keadilan, perilaku
sportif dalam olahraga, dan integritas. Perasaan dalam hal ini berkaitan dengan
empati, yaitu sebuah kemampuan untuk memahami dan menghargai perasaan orang
lain. Pada saat seseorang menggunakan perasaan kepada orang lain, maka akan
berusaha untuk memahami sudut pandang atau pendapat-pendapat orang lain. Integritasadalah
kemampuan untuk mempertahankan moral dan keadilan seseorang berdampingan dengan
keyakinan bahwa seseorang akan bisa memenuhi tujuan moral seseorang. Pada
intinya, hal tersebut merupakan kesadaran moral seorang atlet atau pelatih dan
merupakan sebuah keyakinan bahwa seseorang akan melakukan hal yang benar dan
baik saat dihadapkan dengan sebuah dilema moral.
Kesimpulan
dari paparan di atas adalah pada saat membicarakan karakter dalam olahraga akan
merujuk pada usaha untuk memahami peraturan dan dasar-dasar perilaku olahraga yang
diharapkan dari peserta (perilaku sportif dalam olahraga), mematuhi peraturan
dan semangat peraturan pada saat bertanding (keadilan), memiliki kepekaan rasa
atau mampu untuk memahami perasaan-perasaan orang lain dan memiliki integritas
atau menjadi percaya diri bahwa seseorang akan tahu mana yang benar dan akan
menerapkan hal yang benar, walaupun pada saat pilihan tersebut merupakan
alternatif yang sangat sulit.
B.
FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI KARAKTER KEPRIBADIAN
Kepribadian sebagai sesuatu yang multikomplek
dipengaruhi berbagai faktor sebagai berikut :
1.
Faktor
Genetik/ Keturunan ( Heriditer ).
Faktor ini berasal dari dalam diri
individual itu sendiri, dan diyakini oleh berbagai kalangan memberikan pengaruh
terhadap kepribadian. Anak –anak yang dilahirkan dari orang tua didikan atau
seorang atlit yang berkiprah dalam suatu cabang olahraga. Akan turun kepada
anaknya dan akan mengikuti kiprah orang tuanya sebagai olahragawan. Bakat
adalah kumpulan sifat-sifat kejiwaan yang cocok untuk cabang olahraga tertentu
yang kemungkinan individu memiliki sifat tersebut dapat mencapai prestasi yang
setinggi-tingginya. Contohnya seorang ayah yang pemarah akan menurunkan sifat
pemarahnya tersebut kepada anaknya dan tak semua anak memperoleh sifat itu.
2.
Faktor
lingkungan ( Environment )
Faktor lingkungan faktor yang berasal dari luar
individu. Empat faktor yang mempengaruhinya sebagai berikut :
1.
Budaya.
Setiap individu memiliki pola-pola prilaku, ritual, dan keyakinan yang
dilembagakan dan disetujui secara umum, kemudian dijadikan adat/kebiasaan yang
berlaku dari komunitas setempat. Budaya biasanya terkait erat dengan faktor
sosial sehingga disebut sebagai socio-cultural
yang bersumber dari lingkungan sosial Contohnya : karakter budaya batak berbeda
dengan budaya orang jawa. Suku batak identik keras dan suku jawa identik dengan
kelembutan.
2.
Sosial.
Faktor ini mempengaruhi bagaimana individu memandang dirinya dan bagaimana
menerima anggota kelompok sosial lainnya sehingga akan mempengaruhi situasi
tersebut. Contohnya, anak orang kaya dengan anak orang miskin akan sangat
terlihat jelas perbedaannya. Walaupun secara keseluruhan anak orang kaya belum
tentu semuanya sombong.
3.
Keluarga.
Pengaruh keluarga merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling
penting yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian anaknya melalui tiga cara, yaitu (1) melalui perilaku yang
ditampilkan orang tua;(2) mempengaruhi anaknya sebagai model peran untuk proses
identifikasi, dan (3) orang tua secara selektif memberikan penghargaan atas
perilaku anak, contoh, anak yang orang tuanya bercerai dapat mempengaruhi
sikapnya menjadi pemberontak karena kurangnya kasih sayang.
4.
Teman.
Pengalaman bergaul dalam kelompok semasa anak-anak dan remaja akan mempengaruhi
perkembangan kepribadian karena anak memperoleh pengalaman yang berbeda diluar
rumah dan pengalaman diperoleh didalam rumah tidak membuat anak sama. Oleh
sebab itu, kembar identik atau dua anak berasal dari keluarga yang sama akan
memiliki kepribadian yang sama.
3.
Faktor
fisik ( Organo – Biologik )
Faktor fisik masih berkaitan dengan
keturunan, meliputi struktur anatomis,
fisiologis, fungsi otot, dan perkembangannnya membantu pencapaian prestasi
olahraga. Misalnya, postur tubuh yang tinggi dan besar cocok untuk olahraga
basket dan voli dibandingkan dengan postur tubuh yang pendek dan gemuk.
4.
Faktor
Psiko – Edukatif ( Psyco-Edukative ).
Berkaitan dengan kejiwaan manusia
dalam perkembangan seseorang, seperti dalam pendidikan formal, informasi/nonformal.
Selama proses pendidikan, diharapkan kebutuhan psikologi, sosiologis, dan
biologis dapat terpenuhi. Jadi, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka semakin baik pula tingkatan strata seseorang.
5.
Faktor
Spritual ( Spritual Factor )
Berhubungan dengan sistim keyakinan
hidup, keyakinan agama, dan moral. Contohnya, anak didik/atlit akan lebih jujur
dan sportif apabila memiliki keyakinan diri yang kuat yang bersumber dari
keyakinan hidup masing-masing agama sesuai dengan legalitas undang-undang dasar
tahun 1945.
C.
PENGEMBANGAN
KARAKTER DAN PERILAKU POSITIF OLAHRAGA: TIGA PENDEKATAN PENGEMBANGAN
1.
Pendekatan
Pembelajaran Sosial
Teori
pendekatan pembelajaran sosial diperkenalkan oleh Albert Bandura. Menurut teori
pendekatan pembelajaran perkembangan karakter, sikap dan perilaku positif
olahraga tertentu yang dianggap sesuai oleh masyarakat dipelajari melalui “modelling”(percontohan) dan pembelajaran
observasi, penguatan, dan perbandingan sosial untuk selanjutnya diterima dan
digunakan untuk membimbing perilaku. Pendekatan pembelajaran sosial
mengemukakan bahwa sejarah pembelajaran sosial masyarakat menentukan tingkatan
perilaku positif olahraga mereka, meskipun pada saat ini menekankan bahwa
perilaku juga dipengaruhi oleh interaksi personal dan faktor-faktor
situasional.
Sebagai
contoh, suatu kelas olahraga mendapatkan pembelajaran dengan materi kebugaran,
dengan mengetahui bahwa anak-anak akan mendapatkan hadiah pada saat melaporkan sit-up yang salah pada gurunya. Arif
belajar di kelas olahraga tersebut dan bukan merupakan suatu masalah untuk
melakukan kecurangan pada latihan-latihan kebugaran, karena menginginkan hadiah
dan perhatian dari gurunya, Arif meniru perilaku siswa lain yang dibandingkan
dengan dirinya dan mulai melaporkan nilai sit-up lebih banyak daripada yang
sebenarnya dilakukan.
Dari peningkatan nilai sit-upnya, kemudian Arif mendapatkan hadiah. Hal itulah yang
dipelajarinya dari hasil observasinya terhadap teman-teman lain dan
pengalamannya sendiri, jika Arif berbohong tentang jumlah sit-upnya maka Arif
menerima bantuan yang tidak seharusnya didapatkan dalam pembelajaran olahraga
tersebut, di lain pihak seorang anak yang egois mungkin saja belajar untuk
berbagi dan lebih perhatian dengan mengetahui bahwa teman sekelasnya menerima
hadiah dan perhatian dengan membantu. Setelah itu saat anak ini meniru tindakan
tersebut (membantu yang lain), juga akan mendapatkan hadiah berupa perasaan
sosialnya dikuatkan, oleh karena itu, baik sifat positif maupun negatif
dipengaruhi oleh proses pembelajaran sosial.
Dalam
sebuah teori pembelajaran sosial, anak-anak laki-laki kelas lima yang berlaku
tidak sportif (seperti mengejek) menerima instruksi tentang perilaku tidak
patutnya, melihat perilaku positif yang dipertontonkan dan terlibat dalam sistem
penguatan. Setelah beberapa waktu, sistem penguatan tersebut bekerja efektif, meskipun
mereka cenderung hanya mengurangi perilaku kurang patutnya daripada menerapkan
perilaku-perilaku positif yang diharapkan.
Mantan
petenis Bjon Borg dikenal atas perilaku positifnya, tetapi juga tidak selalu
bertindak dengan perilaku positifnya. Pada saat umurnya 12 tahun, Borg melempar
raketnya dengan kesal menunjukkan rasa kemarahan dalam lapangan. Tindakan
seperti itu dikuranginya dengan cepat karena ibunya tidak akan mentolerir
hal-hal demikian. Raket Borg akhirnya disita dan dilarang bermain tennis selama
6 bulan.
2.
Pendekatan Pengembangan Struktural
Pendekatan
ini tidak berfokus pada modeling,
penguatan, dan pembandingan sosial, melainkan berfokus pada bagaimana
perkembangan psikologi dan
perkembangan perubahan-perubahan pola pikir dan keputusan pada perilaku anak
yang berinteraksi dengan pengalaman lingkungan untuk membentuk pertimbangan
moral. Para psikolog olahraga telah menarik pengertian-pengertian spesifik
tentang perkembangan moral, pertimbangan moral, dan perilaku moral. Moral dalam
pendekatan pengembangan struktural ini bukan berarti moral dalam nilai-nilai religius.
(1)
Pertimbangan moral diartikan sebagai proses keputusan di mana seseorang
menentukan kebenaran dan kesalahan dalam sebuah tujuan tindakan, oleh karena
itu pertimbangan moral berhubungan dengan bagaimana seseorang memutuskan apakah
beberapa tujuan tindakan, contoh: jika seorang pelatih melanggar peraturan dari
Asosiasi Persatuan atlet Nasional dengan membayarkan penerbangan seorang atlet
untuk melihat kematian ibunya) merupakan suatu tindakan yang benar atau salah.
(2) Perkembangan moral adalah sebuah proses pengalaman dan pertumbuhan saat
seseorang mengembangkan kapasitasnya untuk berpikir dengan moralnya, contoh:
pada penyusunan sebuah kurikulum pendidikan olahraga yang berjangkauan luas,
seorang koordinator wilayah ingin memahami pengalaman dan perkembangan kognitif
apakah yang paling tepat untuk meningkatkan kemampuan anak-anak untuk
menentukan kebenaran dan kesalahan dalam sebuah tindakan. (3) Perilaku moral
adalah melakukan sebuah tindakan yang dianggap benar atau salah.
Pertimbangan
moral dihasilkan dari pengalaman individu, perkembangan psikologis, dan
perkembangan anak. Pertimbangan moral dianggap mampu untuk membimbing perilaku
moral dan dilihat sebagai serangkaian dari prinsip-prinsip etik umum yang
mendasari perilaku-perilaku situasional tertentu dari perilaku positif
olahraga.
Para
ahli dari pendekatan ini berpendapat bahwa kemampuan untuk berfikir secara
moral bergantung pada tingkatan perkembangan kognitif atau mental seseorang.
Seorang anak berusia 4 tahun hanya mampu untuk berfikir tentang benda-benda
konkret, secara tidak sengaja didorong di sekolah dan anak akan merespon dengan
memukul anak yang mendorongnya. Anak ini tidak mampu untuk memahami maksud yang
di pahami hanya ada anak yang mendorongnya. Para ahli melihat pendekatan ini
sebagai pertimbangan moral sebagai sesuatu yang bergantung pada perkembangan
kognitif dan moral seseorang. Tahapan perkembangan moral pada manusia:
1)
Level 1. External
control stage (tahap kontrol external).
Pada level ini anak-anak memutuskan benar atau salah
berdasarkan pada kepentingan dirinya sendiri dan secara khusus pada hasil dari
tindakannya sendiri.
2)
Level 2. An
eye-for-an-eye orientation.
Pada level ini, anak masih berfokus pada
memaksimalkan kepentingan diri sendiri, tetapi pada tahap ini anak tidak lagi
hanya melihat pada tindakan yang dihasilkan. Pada tahap ini anak mulai bisa
berkompromi dan melakukakan perbandingan untuk mencapai kepentingannya.
Misalnya: seorang anak yang mencurangi lawannya dalam permainan, anak tersebut
melakukan hal itu karena melihat lawannya mencurangi temannya dan dianggap
tidak masalah.
3)
Level 3. The
“golden rule” or “altruistic view”-treat others like you would like to be
treated.
Pada tahap
ini, seseorang memperlakukan orang lain seperti bagaimana dirinya ingin
diperlakukan hal yang sama oleh orang lain. Level ini sudah berbeda dari dua
level sebelumnya karena kepentingan diri sendiri bukan lagi sebuah fokus utama.
4)
Level 4. Following
external rules and regulations.
Pada level
ini, seseorang berfokus pada mematuhi peraturan-peraturan dari luar. seseorang
telah belajar bahwa tidak semua orang bisa dipercaya untuk melakukan hal yang
benar dan juga telah menyadari bahwa aturan-aturan resmi juga dibuat untuk
kepentingan umum.
5)
Level 5. What
is best for all involved.
Level ini berfokus pada apa yang terbaik bagi semua
orang yang terlibat, apakah sesuai atau tidak dengan aturan resmi dan
peraturan-peraturan lain. Tahap pemikiran ini dianggap sebagai pola pikir yang
paling dewasa karena setiap individu berusaha mencapai kepentingan bersama
melalui kesepakatan bersama atau keseimbangan moral.
3.
Pendekatan Psikologi Sosial
Pendekatan
dalam Psikologi Sosial adalah pendekatan untuk memahami perilaku seseorang.
Pendekatan-pendekatan dalam psikologi sosial antara lain:
1) Model disposisi kepribadian (traits personality approach).
Pendekatan
disposisi kepribadian dikembangkan behaviorisme dan
conceptualisme. Asumsi yang menjadi
penyebab perilaku sosial dikarenakan sifat-sifat kepribadian yang melekat
pada diri individu dan seperti sudah built
in dalam diri yang bersifat permanen dan resisten. Kesimpulannya
menjelaskan penyebab dari perilaku sosial dikarenakan factor-faktor sifat
kepribadian yang sifatnya bawaan bersifat permanen sehingga membentuk
karakter.
2) Model situasi lingkungan (Situational Enviroment Approach).
Pendekatan dianut dan dikembangkan
oleh Empirisme dan Humanisme. Perilaku berubah dari satu
situasi ke situasi yang lain. Kesimpulannya situasi mendominasi pengaruh
perilaku sosial.
3) Model Interaksi (Interaction Approach).
Pendekatan ini adalah konvergen antara model pendekatan
disposisi kepribadian dan situasi lingkungan dengan memberikan win win solutions. Bawaan dan situasi
saling berinteraksi sehingga membentuk contribusi
pengaruh perilaku sosial dan yang mendominasi tergantung intensitas antara
keduannya.
Pendekatan
psikologi sosial harus dilihat dan dikaji secara luas, yakni pada moral dan karakter yang menjadi pertimbangan
dalam unsur-unsur kepribadian pada pendekatan pengembangan struktural ditambah
dengan jangkauan yang luas dari faktor-faktor sosial yang melampaui batas dari
bagian-bagian perbandingan sebuah pendekatan pembelajaran sosial. Salah satu
bagian penting dari sudut pandang ini adalah gagasan bahwa agent social seperti orang tua dan pelatih mengartikan dan
menerapkan perilaku positif dalam olahraga. Dalan hal ini bertujuan untuk
menilik dalam hal yang lebih kompleks, sudut pandang seseorang yang dipengaruhi
oleh situasi yang mempertimbangkan keberagaman dari faktor-faktor personal dan
situasional dalam penetapan perilaku positif dalam olahraga.
Perkembangan
karakter mengalami kemajuan berdasarkan dari pengambilan keputusan seseorang
tentang kebaikan dan keburukan sebuah tindakan yang awalnya didasarkan pada
kepentingan diri sendiri menjadi tindakan yang didasarkan pada kepentingan
bersama bagi semua orang yang terlibat. Cara untuk memahami bagaimana cara
untuk meningkatkan perkembangan karakter dan perilaku sportif olahraga, penting
bagi kita untuk memperhatikan sikap-sikap, nilai-nilai, dan norma-norma budaya
dari tiap-tiap individu maupun kelompok.
D.
PERKEMBANGAN
SIFAT & MORAL
1.
Perkembangan Sifat
Teori sifat
allport menyatakan bahwa sifat merupakan sesuatu yang stabil dan konsisten terhadap
situasi yang berbeda. Hidayat ( 2008 : 112 ) menyatakan bahwa teori sifat lebih
banyak membahas tentang prediksi atau ramalan tentang keberhasilan seseorang
dalam bidang tertentu atau menempatkan orang yang tepat pada tempat yang tepat.
Berdasarkan perspektif teori sifat, individu akan menunjukkkan predisposisi
untuk menginternalisasi kesediaan berkompetisi, mempertahankan diri dan
berkembang dalam banyak situasi.
Memahami
sifat-sifat peserta didik atau atlit kita di dunia pendidikan olahraga
merupakan salah satu cara untuk memahami kepribadian atlit. Salah satu
instrumen/alat tes yang digunakan untuk mengukur sifat-sifat personality yang sering digunakan para
ahli psikologi adalah “the catterl 16
personality factor inventory ( Cattel 16 PF )”. Sifat-sifat diukur, antara
lain keterbukaan intelegensi sifat merendahkan dirim ketenangan dan kelincahan,
kecenderungan berfikir dan merasa, mudah percaya atau curiga, konservatif atau
suka bereksperimen, releks atau tegang, mudah terpengaruh perasaan atau
memiliki stabilitas emosional, kecerdikan dan ketelitian, sifat pemalu atau
pemberani, tenang atau mudah khawatir, sifat tergantung pada kelompok atau
mandiri. Akan tetapi sifat-sifat yang perlu diperhatikan untuk cabang olahraga
yang satu dengan yang lainnya tidak selalu sama.
2. Perkembangan Perilaku Moral.
Beberapa konsep yang memerlukan penjelasan, antara
lain: perilaku moral (moral behavior),
perilaku tidak bermoral (immoral behavior), perilaku
di luar kesadaran
moral (unmoral behavior), dan
perkembangan moral (moral development)
itu sendiri. Perilaku moral adalah perilaku yang mengikuti kode moral kelompok
masyarakat tertentu. Moral dalam hal ini berarti adat kebiasaan atau tradisi.
Perilaku tidak bermoral berarti perilaku yang gagal mematuhi harapan kelompok
sosial tersebut. Ketidakpatuhan ini bukan karena ketidakmampuan memahami
harapan kelompok tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidaksetujuan
terhadap harapan kelompok sosial tersebut, atau karena kurang merasa wajib
untuk mematuhinya. Perilaku di luar kesadaran moral adalah perilaku yang
menyimpang dari harapan kelompok sosial yang lebih disebabkan oleh
ketidakmampuan yang bersangkutan dalam memahami harapan kelompok sosial.
Perkembangan moral bergantung pada perkembangan intelektual seseorang. Ada
hubungan tetap antara agresif dan orang-orang dengan kedewasaan penalaran moral
yang kurang. Orang yang memiliki tingkat kedewasaan penalaran moral yang kurang
akan bertindak agresif pada suatu ketika atau waktu-waktu tertentu, tetapi
meskipun agresif dihubungkan dengan ketidakdewasaan penalaran moral, hubungan
antara alasan dan perilaku tidak dimengerti dengan sempurna.
Alasan bahwa hubungan antara penalaran moral dan
perilaku moral tidak mutlak adalah bahwa beberapa langkah harus diambil untuk
mengartikan penalaran moral menjadi tindakan moral. Empat tahapan tindakan
moral pada hubungan penalaran moral dan perilaku:
1) Mengartikan
situasi sebagai salah satu yang melibatkan beberapa macam penalaran moral.
2) Memutuskan
tujuan terbaik dari tindakan moral
3) Membuat
pilihan untuk bertindak dengan moral.
4) Menerapkan
sebuah tanggapan moral.
Sebagai contoh Brian sebagai seorang kapten tim
tenis yang harus menentukan servis lawan dalam sebuah pertandingan apakah masuk
atau keluar. Jika brian berkata keluar maka timnya menang dan jika brian
berkata masuk, maka timnya kalah. Merujuk pada keempat tahapan di atas, Brian
harus mampu untuk menganalisis situasi dalam kejadian ini yang melibatkan
sebuah pilihan moral. Kemampuannya untuk melihat perasaan orang lain sangat
penting di sini. Karena tentu saja brian akan merasakan hal yang sama jika dia
dicurangi oleh lawannya.
Oleh karena itu, brian harus mempertimbangkan
berbagai pilihan moral yang berat (membuat keputusan yang baik, berbohong, atau
hanya dengan mengatakan tidak tahu apakah servis itu masuk atau tidak). Dalam
hal ini brian harus menggunakan penalaran moralnya dengan baik untuk
mengartikan sebuah tujuan dari tindakan moralnya. Brian kemudian terlibat dalam
situasi dimana harus memilih antara prioritas pada nilai-nilai moral atau
keuntungan diri sendiri. Apakah mau jujur atau berbohong dan keterkaitan
keputusannya dengan sebuah kemenangan bagi timnya mungkin mempengaruhi
keputusannya.
Pada akhirnya Brian harus memimpin sumber daya fisik
dan psikologisnya untuk menerjemahkan keputusan moralnya ke dalam sebuah
tindakan moral. Sebagai contoh, Brian harus percaya diri bahwa dia akan mampu
mengatasi rekan-rekan timnya yang mungkin saja tidak menerima jika memutuskan
servis tersebut masuk dan membuat timnya kalah. Mengetahui bagaimana seseorang
beralasan secara moral dan bagaimana mereka menerjemahkan ke dalam sebuah
tindakan sangatlah penting, tidak hanya dengan rekan kerja disekitar, namun
juga untuk membimbing kepelatihannya.
E.
STRATEGI
UNTUK MENINGKATKAN PENGEMBANGAN KARAKTER
1. Menetapkan perilaku sportif dalam olahraga dalam program.
Seperti yang telah
diketahui bahwa tidak ada pengertian umum dari perilaku sportif dalam
olahraga, oleh karena itu akan
sulit untuk menerjemahkan hal apa yang dianggap patut dan tidak. Tabel dibawah ini
bisa menjadi
contoh dari peraturan tertulis dalam
program kepelatihan anak.
Bidang Perhatian
|
Perilaku positif
|
Perilaku negative
|
Perilaku
pada offisial
|
Bertanya
pada offisial dengan cara yang pantas
|
Beradu
pendapat dengan offisial, mengejek official
|
Perilaku
pada lawan
|
Memperlakukan
semua lawan dengan hormat dan penuh martabat setiap waktu
|
Beradu
pendapat dengan lawan, bertindak kasar, bertindak agresif pada lawan
|
Perilaku
pada rekan tim
|
Hanya
memberikan kritik yang membangun dan dorongan positif
|
Berkomentar
negatif atau
kasar, mengejek atau berdebat dengan rekan kerja
|
Perilaku
terhadap penonton
|
Hanya
berkomentar positif pada penonton
|
Berdebat
dengan penonton, mengejek, membuat kesan buruk pada penonton
|
Penerimaan
peraturan dan pelanggaran
|
Menaati
semua peraturan
|
Membuat
keuntungan pada celah peraturan (misalnya, saat setiap anak harus bermain,
pelatih memberitahu anak
yang kurang memiliki kemampuan untuk berpura-pura sakit saat hari pertandingan
penting)
|
2. Memperkuat dan mendorong perilaku sportif dalam olahraga.
Memperkuat dan mendorong kebiasaan-kebiasaan dan
perilaku-perilaku yang
diterapkan dalam program sebagai perilaku sportif dalam olahraga. Menghukum dan
melarang perilaku yang tidak patut, dalam hal ini tindakan yang konsisten
sangat diperlukan.
3. Mencontohkan perilaku yang sesuai.
Banyak orang yang meniru tindakan
dari para atlet profesional karena banyak dari mereka yang mempertontonkan
perilaku sportif dalam
olahraga dan tidak jarang
terdapat para profesional yang menunjukkan perilaku negatif, disinilah
peran para pelatih untuk menerjemahkan pesan yang dimaksud atas perilaku
tersebut pada para atlet.
4. Menjelaskan kenapa tindakan tertentu dianggap sesuai.
Hanya orang-orang yang telah
menyerap prinsip-prinsip moral
dengan baik yang mampu memutuskan yang mana yang benar dan salah. Pada orang-orang seperti
itulah kita bisa berharap
mereka bisa bersikap
baik dalam berbagai situasi. Sebagai
pelaku olahraga harus memiliki sebuah dasar dalam berbagai komponen
yang ada dalam kriteria
perilaku sportif
dalam olahraga. Dasar-dasar tersebut
menyediakan penjelasan-penjelasan berdasar
pada unsur-unsur penting
yang mendasari tingkatan-tingkatan
pertimbangan moral, yaitu altruism (tindakan
suka rela yang dilakukan oleh seseorang atau pun kelompok orang untuk menolong
orang lain tanpa
mengharapkan imbalan apa pun), aturan yang
tidak memihak
dan keseimbangan moral berdasarkan kesepakatan bersama yang
ditentukan
harus secara berkelanjutan menyampaikan dasar-dasar tersebut.
5. Membahas dilema moral dan
pilihan-pilihan.
Untuk sebuah pendidikan moral yang
efektif, peserta harus terlibat dalam dialog dan diskusi kelompok tentang
pilihan-pilihan dan dilema
moral.
Dilema Moral mengharuskan untuk memutuskan mana yang betul dan salah secara
moral.
Pelanggaran aturan, kapan dan kenapa atlet yang cedera harus bermain, dan
siapa yang sebaiknya bermain merupakan contoh-contoh dari dilema moral. Membahas
zona abu-abu dalam
keputusan benar dan salah yang mungkin atau tidak melanggar aturan.
6. Membangun dilema moral dan pilihan
dalam latihan.
Beberapa
dilema yang mungkin bisa diterapkan
dalam latihan atlet meliputi:
(1)
Tidak menyediakan peralatan terbaik
yang mencukupi bagi semua atlet.
(2)
Merancang pengulangan dengan
kesempatan yang tidak berimbang untuk latihan, contohnya seorang atlet selalu
menjadi pemain bertahan.
(3)
Merancang pengulangan dimana para
pemain diuji dengan kata-kata (ketawaan,
ejekan) seperti menyuruh seseorang untuk
memperagakan kemampuan yang rendah atau menjadi rekan yang tidak fair play.
(4)
Merancang pengulangan yang
menyediakan kesempatan untuk permainan kasar.
Setelah para
atlet berusaha
untuk menyelesaikan permasalahan, diikuti dengan diskusi yang mendasari
pertimbangan moral.
Strategi untuk meningkatkan
perkembangan moral dan perilaku
sportif
olahraga ini membutuhkan waktu, perencanaan, dan usaha. Untuk hasil yang
maksimal
hal ini harus diterapkan berkali-kali dan tidak hanya sekali latihan.
7. Mengajari strategi pembelajaran
kooperatif.
Kebanyakan anak di budaya barat lebih dituntut untuk
berkompetisi daripada untuk bekerjasama, oleh karena itu, pengajaran tentang
strategi belajar secara kooperatif diperlukan untuk pembangunan pencapaian
motivasi secara optimal. Para peneliti juga telah sependapat bahwa kemampuan
untuk belajar bagaimana cara bekerja sama sangat penting bagi perkembangan
karakter.
8. Menciptakan iklim yang berorientasi
pada tugas.
Cara ini menekankan pada membuat
atlet memperhatikan hasil-hasil tugas daripada ego, sehingga mereka bisa menilai
kemampuan mereka dari hasil penampilan mereka dari pada
perbandingan pencapaian secara sosial. Atlet yang merasakan lingkungan yang bermotivasikan
ego dikategorikan sebagai orang yang memiliki kepekaan moral lebih rendah dan
juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengintimidasi. Akan lebih
mudah untuk mengajari perilaku sportif dalam olahraga dan membangun karakter ketika
perbandingan dan kompetisi sosial tidak
ditekankan dan peningkatan dan pembelajaran individu lebih ditekankan. Hal ini tidak
berarti bahwa karakter tidak bisa dibangun dalam iklim yang
kompetitif, hanya jika terdapat keuntungan besar yang diperoleh jika usaha
menggunakan iklim yang berorientasi pada tugas ini diterapkan.
9. Memindah kewenangan dari pemimpin
pada peserta.
Pengembangan
karakter yang paling baik
dalam lingkungan yang secara progresif memindahkan kewenangan dari pemimpin
pada atlet. Sebagai
contoh, suatu kurikulum pendidikan olahraga yang dirancang untuk membantu siswa
menumbuhkan sikap tanggung jawab pribadi dan sosialnya. Kurikulum ini
pertama-tama difokuskan
pada siswa yang bertindak secara tidak bertanggung jawab, membantu mereka untuk
menumbuhkan kontrol diri
mereka dengan mengeluarkan mereka dari kelas sehingga mereka tidak menganggu
temannya.
Kontrol diri selanjutnya berkembang diikuti dengan perkembangan-perkembangan selanjutnya
seperti keterlibatan, pengarahan diri, dan perhatian.
F.
PANDUAN
LATIHAN DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
Dalam
mendukung pola latihan harus memperhatikan beberapa hal berkaitan dengan orientasi fisik yang mempunyai cakupan
sangat luas. Hal-hal tersebut meliputi peranan dari guru olahraga dan pelatih
dalam pengembangan moral dan membuat pengembangan moral merupakan sebuah pola
pikir dibandingkan dengan sebuah kegiatan yang terbatas, selain itu juga harus
memperhatikan peranan dari kemenangan dan cara-cara di mana belajar dan
mengajar perilaku moral yang dapat dimengerti lebih dari hanya sekedar bermain
di lapangan dan mengenali sifat yang tidak sempurna dalam pengembangan
karakter. Hellison membuat sebuah program olahraga yang bertujuan untuk
membantu anak-anak menumbuhkan rasa tanggung jawab mereka:
1)
Level 0- Irresponsibility (tidak
bertanggung jawab).
Pada level ini
mengelompokkan anak-anak yang tidak termotivasi dan berperilaku yang bersifat
mengganggu. Tugas dari guru olahraga dalam hal ini dalah untuk mengontrol
perilaku mereka tersebut atau bahkan menghilangkannya agar tidak menggangu yang
lainnya.
2)
Level 1 - Self
control (Kontrol diri).
Siswa pada level
ini adalah sering tidak berpartisipasi pada kegiatan belajar, namun mereka bisa
mengontrol perilakunya sehingga siswa pada level ini tidak perlu sampai dihukum
keluar dari kelas. Hal yang perlu dilakukan oleh para guru olahraga adalah
membantunya untuk bisa terlibat dalam kegiatan atau mengajarinya untuk menghargai
perasaan orang lain dan memberi tahu mereka bahwa sikap dan perilakunya
menganggu proses pembelajaran di sekolah.
3)
Level 2 -
Involvement (keterlibatan).
Banyak bentuk
yang bisa dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam pelajaran olahraga dan
yang harus dilakukan oleh guru olahraga adalah mendorong siswa untuk lebih
bertanggung jawab pada perkembangan dirinya sendiri dan pengertian dari
keberhasilan.
4)
Level 3 - Self
direction (Pengarahan diri).
Level ini mengelompokkan siswa yang dapat
bekerja secara efektif dan mandiri dalam lingkup perkembangan diri dengan
kebutuhan yang dimengerti atau aspirasi. Tugas guru olahraga adalah untuk
membuatnya untuk bisa memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja
secara mendiri dan mematok tujuan-tujuan yang realistis.
5)
Level 4 - Caring
(Membantu).
Pada level ini, satu satunya perhatian bagi
orang lain adalah rasa hormat pada hak-hak dasar siswa. Pada level ini, siswa
tidak hanya sekedar berfokus pada orientasi diri sendiri dan telah termotivasi
oleh orientasi prososialnya. Tugas dari guru olahraga dalam hal ini adalah
memberikan kesempatan yang cukup bagi siswa untuk bekerjasama, memberikan
bantuan, memperlihatkan perhatian, dan membantu orang lain.
G.
PERANAN
PENDIDIK DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
Banyak orang
beranggapan bahwa tidak semestinya guru dan pelatih berperan dalam pengajaran
moral bagi anak-anak. Banyak
yang menganggap bahwa yang lebih berkompeten adalah para orang tua dan
ahli-ahli agama. Pada sisi
lain guru olahraga, pelatih, dan pemimpin
latihan benar-benar
mempengaruhi banyak nilai-nilai, baik
secara sengaja atau tidak. Selain permasalahan-permasalahan yang dikaitkan dengan olahraga yang kompetitif,
olahraga penuh dengan kesempatan untuk melawan, belajar, mengubah, dan
memerankan nilai-nilai moral.
- Pengembangan Karakter sebagai pola pikir dibandingkan sebagai kegiatan yang terbatas.
Guru olahraga harus
mengedepankan
pengembangan moral dan karakter dalam pengajaran mereka dan memiliki tujuan
dalam pengembangan karakter dari waktu ke waktu dengan menerapkan beberapa strategi dalam
pengembangan karakter.
Pengembangan moral dan perilaku sportif dalam olahraga haruslah menjadi
sebuah pola pikir bagi para instruktur atau pelatih dimana akan selalu berusaha
untuk menerapkan pada para peserta didiknya. Sebagai instruktur atau pengajar harus beranggapan bahwa
perilaku sportif tersebut
akan muncul dengan seiring pada
strategi-strategi yang
diterapkan secara terus menerus. Moral dan karakter yang berkembang dengan
efektif pada anak didik
harus diajarkan
nilai-nilai moral dan
perilaku sportif.
Guru dan pelatih selalu berupaya untuk mengajarkan nilai-nilai moral kepada
anak didik, menjadi contoh terhadap nilai-nilai yang
terkandung dalam olahraga dan
menyediakan mentor individu bagi peserta yang memiliki kesulitan dalam
masalah moral tersebut. Secara jelas, pengembangan moral dan perilaku sportif memerlukan
pemikiran dan kerja keras yang dilakukan secara konsisten oleh para guru
olahraga dan pelatih. Hal tersebut haruslah menjadi sebuah pola pikir, bukannya
kegiatan terbatas yang dilakukan terus menerus.
- Mengurangi resiko pada anak dengan menguatkan daya tahan.
Selain strategi-strategi yang harus
diketahui oleh para guru dan pelatih untuk membangun karakter dan perilaku sportif, juga harus
memperhatikan lingkungan dimana seseorang tinggal yang mungkin saja memiliki
banyak pengaruh dan beresiko bagi perkembangan moral anak (misalnya, obat-obatan,
kehamilan usia dini, kegiatan geng, dsb). Terlebih lagi dengan ketiadaan peran
dari orang tua yang membuat tugas dari guru dan pelatih lebih berat. Hal yang
perlu dilakukan adalah menguatkan daya tahan anak tersebut sehingga mereka
dapat menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif
yang mungkin timbul. Resiliency adalah kemampuan untuk bangkit
kembali dengan sukses setelah berhadapan dengan resiko yang tinggi atau stress.Resiliency berkaitan
dengan mengembalikan diri sendiri dalam kondisi-kondisi dimana seseorang biasanya dicegah. Tiga atribut
pokok yang berkaitan dengan daya tahan pada anak atau pemuda: kompetensi sosial,
kemandirian, serta optimisme dan harapan.
- Kompetensi Sosial.
Kompetensi sosial adalah
kemampuan untuk berinteraksi secara sosial dengan orang lain dan membuat suatu hubungan atau
dukungan sosial yang
kuat. Fleksibilitas dan empati sangat penting dalam perkembangan
kemampuan ini.
- Otonomi.
Anak yang berdaya tahan kuat
memiliki keyakinan yang kuat akan siapa dirinya, percaya bahwa bisa
mengendalikan diri dalam lingkungannya dan percaya bisa bertindak mandiri. Pada intinya,
mereka bisa merasakan perasaan kemandirian dan kebebasannya untuk mengontrol
tindakannya sendiri.
- Optimisme dan Harapan.
Rasa percaya akan adanya penghargaan
atau apresiasi atas apa yang diusahakan dan dilakukan oleh anak. Cara terbaik
untuk meningkatkan daya tahan pada anak-anak:
(1)
Fokus pada kelebihan atlet, bukan
pada kekurangannya, untuk membangun rasa percaya dirinya.
(2)
Jangan hanya berfokus pada kegiatan
olahraga atau fisik. Fokus pada semua aspek yang ada pada anak, emosi, sosial,
ekonomi, dan kebutuhan pendidikan mereka.
(3)
Lebih sensitif kepada para
anak muda secara individu dan juga pada perbedaan kebudayannya dan mengenali
tentang dia sebagai seorang individu.
(4)
Mendorong kemandirian dan kontrol
terhadap kehidupan seseorang dengan menyediakan atlet dengan pembelajaran tentang
program kepemimpinan dan tanggung jawab.
(5)
Melibatkan nilai-nilai yang kuat
dan harapan yang jelas dalam program. Pastikan semua atlet mengetahui nilai dan
harapan tersebut.
(6)
Membantu pemuda untuk melihat
tentang kemungkinan lapangan pekerjaan masa depan untuk mereka.
(7)
Menyediakan lingkungan yang aman
secara fisik dan psikis
(8)
Membuat
program yang tidak
terlalu beragam akan tetapi menyediakan keterlibatan dan pertisipasi dalam
jangka waktu lama.
(9)
Memberikan kepemimpinan yang menjaga
program berjalan tanpa gangguan.
(10)
Pastikan program berhubungan dengan
lingkungan dan kebersamaan.
(11)
Menyediakan hubungan dengan orang
dewasa yang mencontohkan kepedulian dan dukungan terhadap sesama.
BAB
III
KESIMPULAN
Partisipasi dalam
olahraga tidak secara otomatis mempunyai efek positif terhadap pembentukan
karakter. Pengalaman yang diperoleh melalui olahraga dapat membentuk karakter,
tetapi hal ini hanya dapat terjadi apabila lingkungan olahraga diciptakan dan
ditujukan untuk mengembangkan karakter. Olahraga dapat membentuk karakter
positif hanya jika kondisi-kondisi yang menyokong ke arah positif dipenuhi,
misalnya kepemimpinan dan perilaku pelatih yang baik. Dukungan dari pelatih,
orang tua, penonton, administrator, maupun dari pemain sendiri sangat
dibutuhkan untuk memperoleh manfaat positif dari partisipasi olahraga.
Karakter dapat
dipelajari dan dibentuk dalam olahraga. Pengalaman yang diperoleh melalui
olahraga dapat membentuk karakter, tetapi hal ini hanya dapat terjadi apabila
lingkungan olahraga diciptakan dan ditujukan untuk mengembangkan karakter. Karakter-karakter
positif diharapkan dapat dan harus dipelajari melalui olahraga atau aktivitas
fisik. Program olahraga dalam semua level dapat didesain untuk mengembangkan
gaya hidup aktif dan karakter positif. Melalui metode pengajaran dan pelatihan
yang tepat, serta usaha-usaha mengembangkan kualitas, olahraga
dan aktivitas fisik
dapat menjadi sarana
yang tepat untuk pembentukan karakter. Olahraga pada
level apapun sangat
potensial untuk mengembangkan
karakter positif.
Nilai-nilai karakter
sosial termasuk loyalitas, dedikasi, pengorbanan, dan kerjasama tim, sedangkan
nilai-nilai moral yaitu kejujuran, keadilan, sportifitas, kebenaran, dan
tanggungjawab. Olahraga mampu membantu perkembangan nilai-nilai sosial, maka
perkembangan karakter melalui olahraga seharusnya mampu membantu atlet belajar
untuk mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan moral dan kemudian bertindak
berdasarkan nilai nilai moral tersebut. Pengembangan karakter
moral adalah kombinasi
proses pembelajaran sepanjang kehidupan, baik formal maupun informal
dengan tiga dimensi, yaitu mengetahui, menilai, dan mengerjakan hal yang benar,
dengan hasil menjadi karakter moral. Pendidikan karakter seharusnya mampu
membawa seseorang ke pengenalan nilai secara
kognitif, penghayatan nilai
secara afektif, dan
akhirnya ke pengamalan nilai
secara nyata.
Olahraga menyediakan
lingkungan sosial, yang secara kultural memungkinkan untuk memperoleh
nilai-nilai dan perilaku positif. Hal ini mengimplikasikan bahwa hal-hal
positif yang dipelajari dalam olahraga dapat ditransfer ke dalam
kehidupan. Dalam hal
ini olahraga menjadi
agent perkembangan
sosial, yang memungkinkan
pelaku-pelakunya menumbuhkan sikap dan perilaku positif. Pembentukan karakter
merupakan proses yang
panjang, holistik, yang terutama dipengaruhi oleh variabel
kontekstual sepanjang kehidupan seseorang. Jika olahraga menjadi bagian dari
kehidupan seseorang dan pengalaman dalam olahraga akan mempengaruhi pembentukan
karakternya, diharapkan yang muncul adalah karakter positif.
Kemenangan dalam suatu
pertandingan adalah hal yang penting, tetapi ada yang lebih penting lagi, yaitu
menampilkan keterampilan terbaik dengan semangat persahabatan. Lawan bertanding
sejatinya adalah juga kawan bermain. Pendidikan olahraga adalah wahana yang
sangat ampuh bagi perkembangan karakter dan kepribadian anak bangsa apabila
dikembangkan secara sistematis. Olahraga mengandung dimensi nilai dan perilaku
sportif yang terbukti faktanya. Pertama, sikap sportif, kejujuran,
menghargai teman dan saling mendukung, membantu dan penuh semangat kompetitif. Kedua,
sikap kerja sama team, saling percaya,
berbagi, saling ketergantungan, dan kecakapan membuat keputusan bertindak. Ketiga, sikap dan watak yang senantiasa
optimistis, antusias, partisipasif, gembira, dan humoris. Keempat, pengembangan
individu yang kreatif, penuh inisiatif, kepemimpinan, kerja keras, kepercayaan
diri, dan kepuasan diri. Keunggulan pendidikan olahraga dalam pembentukan karakter
terletak pada perlengkapan nilai-nilai ke dalam perilaku. suatu ciri yang tidak
mudah dilakukan pada pendidikan yang lain dalam kurikulum dan pembelajaran
yang cenderung ke arah teori, abstrak,
dan lain sebagainya. Mari kita budayakan pendidikan karakter melalui aktivitas
olahraga di kalangan siswa khususnya dan semua orang pada umumnya secara
sistematis.
DAFTAR PUSTAKA
Apta Mylsidayu. 2014. Psikologi Olahraga. Jakarta. Bumi
Aksara.
Agus
Sarengat. 2010. Pembentukan karakter
lewat olahraga. http://agustsarengat.blogspot.com.
Di unduh tanggal 20 April 2016.
Akhmad
Sobarna. 2010. Benarkah olahraga membangun
karakter.http://sobarnasblog.blogspot.com.
Di unduh tanggal 10 Mei 2016.
Santosa,
Lamin. 2012. Teori Belajar Bandura. http://lasminsmansarbg.blogspot.com/teori-belajar-bandura.html
di unduh pada tanggal 20 April
2016.
Lutan,
Rusli. (2001). Olahraga dan etika fair
play. Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Olahraga, Direktorat Jendral Olahraga, Depertemen Pendidikan Nasional.
Weinberg,
Roberts S; Gould, Daniel. (2007). Foundations
of sport and exercises psychology.4thedition. Champaign II: Human
Kinetics Pubhlisers.Inc.
Dewi Tralight.
2011. Pengertian Revitalisasi. https://dewiultralight08.wordpress.com. Di
unduh tanggal 10 mei 2016
Hidayat, Yusup. “ Psikologi Olahraga”. Bahan Ajar FPOK. Bandung
: POR FKIP UPI.
KAMUS MAKALAH
A
:
Altruistic : Altruistis
Agresif : bersifat atau
bernafsu menyerang;
Akut : semacam penyakit
yang mendadak
Asumsi : Asumsi
Agent
Social : Agen Sosial
Akseptabilita : artinya adalah Keterterimaan,
kecocokkan dan kepantasan. Kata ini berasal dari "peminjaman" kata
Accetability
Aksiologi : cara manusia untuk
menggunakan ilmunya
Apresiasi : Penghargaan
Alturism : Altruisme
Approach : pendekatan
B :
Behaviorisme :
behaviorisme
Bell lef – system :
Sistem Kepercayaan
Behavior : tingkah laku/perilaku
Bahavior Konseptual : rancangan prilaku
C
:
Coruption : mengambil yg bukan
haknya
character
building : Pembentukan karakter
Conceptualisme : konseptualisasi
D:
Degradasi : kemunduran
Determinasi : Determinasi
Doping :
upaya meningkatkan prestasi dengan menggunakan zat atau metode yang dilarang
dalam olahraga dan tidak terkait dengan indikasi medis.
Delema : menentukan dua
pilihan yang baik
Direction : arah
Determinasi : hal menentukan(menetapkan,
memastikan)
E :
Eksploitasi : pemanfaatan untuk keuntungan sendiri;
pengisapan; pemerasan (tentang tenaga orang)
Emansipasi : pembebasan dari perbudakan
Empirisme : pengelaman
Epistimologi : Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari
ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh
setiap manusia
Elektabilitas, :
adalah "Ketertarikan yang dipiilih". Mislanya, sesuatu benda atau
orang yang memiliki Elektabilitas tinggi adalah yang terpilih dan disukai oleh
masyarakat. yakni difaforitkan
F :
Fair play : sari patinya olahraga dan keniscayaan bagi
perdamaian atau kelangsungan olahraga yang membawa kemaslahatan (Philip Noel
Baker –pemenang Nobel perdamaian)
Fair play : Permainan Adil
G :
Golden Rule : Aturan emas
H :
Hayati :
mengenai hidup; berhubungan dengan hidup
Habit :
Kebiasaan
Humanisme : kemanusiaan
Hedonisme : pandangan yang menganggap kesenangan dan
kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup
I
:
Impliikasi : implikasi
Inisiatif : Inisiatif
Involved : Terlibat
Intensitas : Intensitas
Immoral
Behavior : Perilaku tidak bermoral
Intiminadiasi : tindakan menakut-nakuti
(terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu); gertakan;
ancaman;
Instruktur : orang yang bertugas mengajarkan sesuatu dan
sekaligus memberikan latihan dan bimbingannya; pengajar; pelatih; pengasuh:
K
:
Kompetensi, : artinya adalah Kemampuan, sebagai seorang individu
atau calon pemimpin diharapkan memiliki kemampuan, ketrampilan atau skill.
Kapabilitas :
artinya juga sama dengan Kompetensi, yaitu Kemampuan. Namun pemaknaan
kapabilitas tidak sebatas memiliki keterampilan (skill) saja namun lebih dari
itu, yaitu lebih paham secara mendetail sehingga benar benar menguasai
kemampuannya dari titik kelemahan hingga cara mengatasinya
Kemajemukan : terdiri atas beberapa bagian
yang merupakan kesatuan:/keanekaragaman
Kohensif : melekat satu dengan yang lain Etis sesuai dengan asas perilaku yang disepakati
secara umum
Konservasi–perservasi : Konservasi – preservasi
Kompetisi : bertanding
Komersial : berhubungan dengan niaga atau perdagangan
Kognitif : pengetahuan
Konvergen : bersifat
menuju satu titik pertemuan;
Kompleks : Kompleks
Konsisten : Konsisten
Kooperatif : Kooperatif
Kompetitif : berhubungan dengan kompetisi (persaingan);
bersifat kompetisi (persaingan)
Korehensi : tersusunnya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagiannya
berkaitan satu dengan yang lain
L :
Luhur : tinggi;
mulia
M
:
Mental :
bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau
tenaga:
Moral Behavior : Perilaku moral
Moral
Development : Perkembangan moral
Moral : (ajaran tentang)
baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan
sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila:
Mendidik` : memelihara dan memberi
latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran:
N :
Nation : Bangsa
O :
Optimal : menjadi yang terbaik
Orientasi : (ter)baik; tertinggi; paling menguntungkan
Ontologi : cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup
P :
Popularitas : dikenal dan disukai orang banyak (umum)
Prestisi : wibawa (perbawa) yang berkenaan dengan
prestasi atau kemampuan seseorang:
Prioritas : Prioritas
Progresif : andangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan;
Psikis :
Petisi : surat) permohonan
resmi kepada pemerintah
Personality :
Kepribadian
R :
Regulasi :
pengaturan
Respect : Menghormati
Responbility : Tanggung jawab
Restorasi : Restorasi
Rekontruksi : pengembalian seperti semula:
Rehabilitasi : pemulihan kepada kedudukan
(keadaan, nama baik) yang dahulu (semula);
Respon : Respon
Regulasi : Regulasi
Resisten : Registen
Realistis : bersifat nyata (real); bersifat wajar
Resiliency : kemampuan atau kapasias insani yang dimiliki seseorang, kelompok
atau masyarakat yang memungkinkan untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan
bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang
tidak menyenangkan,
Radikalisme ` :
sampai keakar-akar dalam menyelsaikan masalah
Rasisme :
sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang
melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan
memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya
S :
Sportif :
bersifat kesatria, jujur, dan sebagainya:
Self Image / Citra diri : image self / citra diri
Sifat :
dasar watak (dibawa sejak lahir); tabiat
Soul :
jiwa
U :
Uang :
Uang
Unmoral Behavior : Prilaku diluar kesadaran
V :
Verbalistik : Verbalistik
View : Melihat
.
.
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih, Komentar dan saran...
Sukses Selalu